Dunia sastra Indonesia pernah dihebohkan oleh sebuah puisi Sitor Situmorang yang berjudul “Malam Lebaran.” Puisi itu memgundang polemik bukan karena ‘kerumitannya,’ melainkan lantaran ‘kesederhanaannya’ yaitu cuma berisikan satu baris kalimat yang tersusun dari empat kata: “Bulan di atas kuburan.” Orang-orang pada bingung: bagaimana menafsirkan puisi itu? Kritikus sastra pun jadi ikut sibuk menafsirkan.
Mereka yang menganut paham naturalisme dan positivisme meyakini Sitor pasti telah melakukan kesalahan. Mana mungkin dia dapat melihat bulan pada malam lebaran? Bukankah pada malam itu bulan tidak dapat dilihat mata telanjang, sehingga para penentu saat akhir masa puasa harus menggunakan teropong untuk menentukan apakah bulan sudah muncul. Kesimpulannya: Sitor ngaco.
Lain lagi dengan pendapat kritikus yang menganut paham simbolik. Menurut mereka Sitor tidak melaporkan keadaan alam empirik lewat puisi itu. Benda-benda yang disebut dalam selarik puisi itu adalah simbol dari hal lain. Lantas, para penganut paham ini membuat penyejajaran antara malam dengan kuburan, serta Lebaran dengan bulan. Malam dan kuburan dianggap memiliki kesejajaran kualitas: gelap, hitam, kotor; sementara bulan dan lebaran berkonotasi pada: terang, putih, bersih. Dalam puisi tersebut kedua kualitas tersebut diperantarai oleh kata “di atas.” Dengan demikian, secara keseluruhan puisi Sitor yang paling ekonomis itu bermakna (dimaknai): terang (putih/bersih/suci) di atas (mengatasi) gelap (hitam/kotor/dosa).
Mereka yang menganut paham naturalisme dan positivisme meyakini Sitor pasti telah melakukan kesalahan. Mana mungkin dia dapat melihat bulan pada malam lebaran? Bukankah pada malam itu bulan tidak dapat dilihat mata telanjang, sehingga para penentu saat akhir masa puasa harus menggunakan teropong untuk menentukan apakah bulan sudah muncul. Kesimpulannya: Sitor ngaco.
Lain lagi dengan pendapat kritikus yang menganut paham simbolik. Menurut mereka Sitor tidak melaporkan keadaan alam empirik lewat puisi itu. Benda-benda yang disebut dalam selarik puisi itu adalah simbol dari hal lain. Lantas, para penganut paham ini membuat penyejajaran antara malam dengan kuburan, serta Lebaran dengan bulan. Malam dan kuburan dianggap memiliki kesejajaran kualitas: gelap, hitam, kotor; sementara bulan dan lebaran berkonotasi pada: terang, putih, bersih. Dalam puisi tersebut kedua kualitas tersebut diperantarai oleh kata “di atas.” Dengan demikian, secara keseluruhan puisi Sitor yang paling ekonomis itu bermakna (dimaknai): terang (putih/bersih/suci) di atas (mengatasi) gelap (hitam/kotor/dosa).