Dunia sastra Indonesia pernah dihebohkan oleh sebuah puisi Sitor Situmorang yang berjudul “Malam Lebaran.” Puisi itu memgundang polemik bukan karena ‘kerumitannya,’ melainkan lantaran ‘kesederhanaannya’ yaitu cuma berisikan satu baris kalimat yang tersusun dari empat kata: “Bulan di atas kuburan.” Orang-orang pada bingung: bagaimana menafsirkan puisi itu? Kritikus sastra pun jadi ikut sibuk menafsirkan.
Mereka yang menganut paham naturalisme dan positivisme meyakini Sitor pasti telah melakukan kesalahan. Mana mungkin dia dapat melihat bulan pada malam lebaran? Bukankah pada malam itu bulan tidak dapat dilihat mata telanjang, sehingga para penentu saat akhir masa puasa harus menggunakan teropong untuk menentukan apakah bulan sudah muncul. Kesimpulannya: Sitor ngaco.
Lain lagi dengan pendapat kritikus yang menganut paham simbolik. Menurut mereka Sitor tidak melaporkan keadaan alam empirik lewat puisi itu. Benda-benda yang disebut dalam selarik puisi itu adalah simbol dari hal lain. Lantas, para penganut paham ini membuat penyejajaran antara malam dengan kuburan, serta Lebaran dengan bulan. Malam dan kuburan dianggap memiliki kesejajaran kualitas: gelap, hitam, kotor; sementara bulan dan lebaran berkonotasi pada: terang, putih, bersih. Dalam puisi tersebut kedua kualitas tersebut diperantarai oleh kata “di atas.” Dengan demikian, secara keseluruhan puisi Sitor yang paling ekonomis itu bermakna (dimaknai): terang (putih/bersih/suci) di atas (mengatasi) gelap (hitam/kotor/dosa).
Perbedaan tafsir antara pihak naturalis-positivis dengan pihak simbolis-strukturalis memunculkan gagasan: bagaimana kalau Sitor sendiri diminta menjelaskan maksud puisinya tersebut. Maka diundanglah Sitor untuk menjelaskan proses penciptaan puisi itu. Sitor pun kemudian bercerita; suatu malam ia berjalan kaki hendak menuju rumah Pramoedya Ananta Toer, dan ternyata ia tersesat. Di saat tersesat itu, ia melihat sebuah tembok putih. Ia penasaran; apa yang ada di balik tembok itu. Maka, Sitor pun lantas naik di atas batu di dekat tembok, dan melongok: “… Oo… kuburan.” Kemudian ia turun dan melanjutkan jalan kakinya mencari rumah Pram. Rupanya pengalaman menemukan tembok putih, melongok, dan melihat kuburan tersebut sangat membekas dalam diri Sitor, dan tidak dapat segera dilupakan. Ia kemudian mengekspresikan pengalaman itu dalam puisi sebarisnya yang telah menghebohkan banyak orang itu. Tidak dijelaskan, apakah peristiwa itu dialaminya pada malam lebaran atau malam-malam yang lain, tidak pula dijelaskan apakah malam itu dia melihat bulan.
Kisah perdebatan seputar puisi Sitor di atas, yang diceritakan kembali berdasarkan buku Proses Kreatif susunan Pamusuk Eneste, merupakan ilustrasi yang baik mengenai perbedaan antara realitas, pengalaman, dan ekspresi. Perbedaan antara ketiga hal itu telah menarik perhatian para antropolog dan dituangkan, antara lain, dalam buku Anthropology of Experience yang diedit oleh Victor W. Turner dan Edward M. Bruner (1986). Mengawali kumpulan karangan yang terkumpul di buku itu, Bruner menegaskan adanya jarak antara (1) realitas (yang senyatanya ada di luar sana, apapun itu – status ontologis sesuatu), (2) pengalaman (bagaimana realitas tersebut menghampiri kesadaran manusia – atau lebih tepatnya, bagaimana kita menautkan diri dan menginternalisasi realitas), dan (3) ekspresi (bagaimana pengalaman seseorang dibingkai dan diartikulasikan). Ketiga hal itu tidak identik satu sama lain.
Realitas bersifat umum, general (walaupun barangkali tidak selalu universal), dalam arti kenyataan yang sama dapat dialami oleh banyak orang. Banyak orang dapat mengalami kejadian tersesat di waktu malam di daerah yang sama dan menjumpai kuburan yang sama (bahkan pada waktu yang sama). Namun, realitas yang sama itu selalu dialami orang per orang, masing-masing dengan disposisi mental serta ketubuhannya sendiri. Dengan lain kata: pengalaman itu selalu bersifat individual, subyektif. Disposisi mental (alam pikir, rasa, emosi yang ada dalam diri) dan ketubuhan (kondisi fisik dan posisinya dalam lingkungan fisik) Sitor pribadi lah yang telah mengarahkan kejadian tersesat tadi kepada sebuah pengalaman yang unik dan membekas. Kalau kejadian itu saya atau Anda alami, barangkali tidak akan teralami seperti itu. Artinya, realitas yang sama, umum, general, ketika dialami seseorang akan ‘disaring’ lewat disposisi mental dan fisiknya menjadi pengalaman diri. Maka, terciptalah jarak atau perbedaan antara realitas dan pengalaman, pengalaman tidak lagi identik dengan realitas.
Lebih lanjut dikatakan Bruner bahwa hubungan antara realita, pengalaman, dan ekspresinya bersifat dialogis dan dialektis. Ketika pengalaman sesorang diekspresikan, artinya dituangkan dalam bentuk atau tingkahlaku ter-indra (terdengar, terlihat, tercecap, terasa, terbaui), maka hasil interpretasi subyektif atas realita tadi terlahir atau hadir dalam realita. Sementara itu, ekspresi terstruktur oleh pengalaman (kita hanya dapat mengekspresikan yang teralami), sedangkan pengalaman juga tersktruktur oleh ekspresi (orang Jawa mengalami kehormatan melalui ekspresi kebahasaan krama, atau pengalaman keruangan terstruktur oleh ekspresi artistik dan teknis sang arsitek).
Dari sini kita dapat beralih pada persoalan media ekspresi. Sebagai sebuah aktivitas pengejawantahan, pewujudan, materialisasi, penubuhan (embodiment), ekspresi senantiasa membutuhkan media. Secara teoretik dapat dikatakan segala sesuatu yang indrawi berpeluang untuk dijadikan media ekspresi. Namun dalam praktiknya, peluang tersebut sedikit banyak terbatasi. Salah satu pembatasnya adalah pengalaman itu sendiri. Sekedar sebagai sebuah contoh sederhana, mari kita perhatikan ekspresi kebahasaan untuk rasa panas. Dalam bahasa Indonesia, rasa panas antara lain diekspresikan lewat kata ‘merah,’ misalnya dalam frasa ‘merah membara.’ Rasa ‘panas’ dan warna ‘merah’ merupakan gejala yang dialami manusia, dan hubungan di antara keduanya dijembatani oleh pengalaman manusia atas kedua gejala tersebut: bara atau api yang terasa panas sekaligus memancarkan sinar berwarna merah. Panasnya bara api tidak dialami bersama dengan terindranya warna hijau, misalnya. Di sini kita dapati contoh bagaimana pengalaman tersebut men-struktur ekspresi kebahasaan untuk pengertian panas.
Namun, sebenarnya perkembangan teknologi ‘perkomporan’ menghadirkan realita lain: sinar biru yang terpancar dari kompor gas ternyata menandakan suhu api yang lebih tinggi daripada sinar berwarna merah. Dengan demikian, sebenarnya terdapat peluang untuk mengekspresikan ‘panas’ lewat kata ‘biru.’ Hanya saja, peluang semacam itu baru terbuka ketika kita telah mengalaminya. Sebelum hadirnya teknologi kompor gas orang tidak pernah membayangkan (artinya: memiliki pengalaman mental) bahwa warna biru dapat dihasilkan oleh benda panas. Pengalaman selalu bersifat historis (menyejarah), ia berada dalam kurun waktu material dan teknologi manusia tertentu.
Bahkan, ketika teknologi kompor gas sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan kita sehari-hari, frasa ‘panas membiru’ belum lagi lazim diungkapkan. Di sini terlihat bagaimana pengalaman kebahasaan turut men-struktur ekspresi, yaitu dalam bentuk konvensi (kesepakatan) atau kelaziman bahasa. Lewat kesepakatan dan kelaziman seperti itu ekspresi kebahasaan menjadi lebih mudah dan lebih tepat dimengerti; meskipun pada dasarnya pengalaman selalu bersifat personal (hanya dapat dimengerti sepenuhnya oleh pemilik pengalaman) dan dalam komunikasi kita selalu menafsir ekspresi [kebahasaan, ketubuhan, materi] komunikator. Singkat kata, pengalaman [kebahasaan] yang sudah ada turut membingkai dan membatasi tindakan ekspresi manusia.
Selain oleh pengalaman (lebih tepatnya pengalaman kolektif yang terkonvensi), ekspresi juga dibatasi oleh sifat dan kondisi material media ekspresinya. Kembali ke contoh ekspresi rasa panas, hal itu dapat diekspresikan lewat media bahasa tulis, bahasa lisan, angka, grafis, warna, gerak tubuh, dan entah apa lagi. Setiap media ekspresi memiliki sifatnya masing-masing, dan pada gilirannya sifat-sifat itu ikut menentukan seberapa jauh/banyak/luas materi tersebut mampu mengekspresikan rasa panas. Misalnya, bahasa tulis cenderung beroperasi di wilayah kognitif (alam pikir). Tulisan ‘panas’ merangsang pengertian kita mengenai suhu, seperti halnya angka penunjuk suhu pada termometer. Namun, bahasa tulis pada umunya cenderung kurang berdaya untuk mengolah perasaan (afeksi) pembacanya. Untuk dapat mengelola rasa lebih baik, maka barangkali perlu diurus perihal grafis, misalnya: panas panas panas panas panas panas
atau bahkan …. ……
Pada saat kita mempertimbangkan media ekspresi, maka sebenarnya kita berurusan dengan persoalan representasi. Ekspresi adalah representasi, dan representasi atas realita tidak sama dengan realita itu sendiri. Ekspresi menghadirkan realita ‘kedua,’ ‘ketiga,’ dan seterusnya yang sama nyatanya seperti halnya realita ‘pertama.’
Ilmu Pengetahuan
Hubungan antara realitas, pengalaman, dan ekspresinya seperti disebutkan di atas juga berlaku dalam dunia keilmuan, atau lebih tepatnya dunia ilmu pengetahuan. Realitas merupakan titik berangkat dari semua ilmu pengetahuan, baik itu realitas empirik maupun realitas non-empirik. Bagi ilmu pengetahuan tertentu, realitas juga merupakan titik akhir – hal yang ingin dituju atau dihasilkan, diciptakan oleh ilmu pengetahuan. Namun demikian, bagaimana realitas itu dialami (experienced) oleh [pelaku] ilmu pengetahuan jelas berbeda dengan yang dialami oleh (misalnya) seorang penyair. Jadi, dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan salah satu cara mengalami realitas – sehingga dalam pengertian ini dapat kira rujuk kembali petuah leluhur Jawa yang mengatakan bahwa “ngelmu iku jalaran lan kanthi laku.” Tentu saja, ngelmu tidak sama dengan ilmu pengetahuan. Namun wejangan tersebut menegaskan peran ngelmu dan ilmu pengetahuan sebagai cara memandang menempatkan diri, dan mengelola realita.
Bahkan, dalam dunia ilmu pengetahuan (sebenarnya seperti juga dalam dunia ngelmu) tidak terdapat ketunggalan cara mengalami realita, dan perbedaan cara mengalami tersebut pada gilirannya menghasilkan beragam jenis ‘tahu’ yang diekspresikan masing-masing disiplin ilmu pengetahuan. Di atas telah disebutkan bahwa pengalaman merupakan hal yang subyektif. Pada lingkup ilmu pengetahuan, subyektivitas pengalaman tidak tampil dalam bentuk subyektivitas orang per orang, melainkan sebagai subyektivitas disiplin keilmuan, atau subyektivitas paradigmatik. Realitas tubuh manusia dialami oleh ilmu kedokteran sebagai sebuah sistem biologi, sementara tubuh yang sama dialami oleh ilmu sosial sebagai tubuh perempuan dan laki-laki (misalnya). Ilmu kedokteran dan ilmu sosial menegakkan ‘penge-tahu-an’ mereka masing-masing berdasarkan cara memandang, menempatkan diri, dan mengelola realita yang sama, yaitu tubuh manusia.
Sebuah implikasi penting dari penjelasan semacam itu adalah dengan demikian ‘ke-tahu-an’ yang diperoleh melalui masing-masing cara mengalami itu tidak akan pernah menghasilkan ‘ke-tahu-an’ yang total, menyeluruh. Kebenaran setiap bidang ilmu pengetahuan selalu merupakan kebenaran parsial, sebagian saja: yang batas-batasnya ditentukan oleh cara yang ditempuh untuk mengalaminya. Atau, dipahami dari sisi sebaliknya: kebenaran realita terlalu luas untuk dapat dialami dan dimengerti (diketahui) oleh masing-masing ilmu pengetahuan. Itulah pengertian pertama dari pernyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah obyektif, tidak akan pernah netral – yaitu karena berlakunya subyektivitas yang dibangun berdasarkan asumsi perspektif dan metodologis. Pengetahuan niscaya tentang sesuatu, tidak pernah tentang segalanya.
Ilmu pengetahuan (alam, sosial, budaya) dan akal-sehat (common-sense) dalam hidup sehari-hari tumbuh dari akar yang sama, yaitu keingin-tahuan manusia. Namun pertumbuhan keduanya berbeda. Perbedaan tersebut bisa dipahami sebagai berikut: Pertama, akal-sehat berorientasi pada pemecahan problem nyata sehari-hari yang praktis, sementara ilmu pengetahuan bertujuan pada penemuan penjelasan tentang tata dan keteraturan gejala-gejala yang dijumpai manusia. Akal-sehat cenderung mencari jawaban-jawaban atas satu per satu persoalan yang dihadapi; dan persoalan keseharian serta pemecahannya kebanyakan bersifat terbatas pada hal ini, di sini, saat ini. Oleh karenanya pengetahuan yang dihasilkan melalui akal sehat mempunyai keterbatasan penerapan pada situasi dan kondisi yang serupa. Akal sehat cenderung kontekstual. Berbeda darinya, ilmu pengetahuan mengarah pada penjelasan-penjelasan yang bersifat general (umum) tentang kelompok atau jenis gejala tertentu. Itu sebabnya ilmu-pengetahuan mengembangkan teori, konsep, rumus; yang tidak sekedar mengacu pada hal-hal yang khusus saja, melainkan berupaya menemukan penjelasan bagi hal-hal sejenis yang muncul di waktu dan dalam ruang yang berbeda. Dengan kata lain ilmu pengetahuan berupaya mencapai suatu pengetahuan yang bersifat universal. Karena sifatnya yang universal itu, salah satu ciri yang membedakan ilmu dari akal-sehat adalah lebih tingginya tingkat abstraksi pada ilmu.
Pebedaan berikutnya terletak pada cara kerja kedua jenis pengetahuan tersebut. Cara kerja akal-sehat dalam kehidupan sehari-hari menyandarkan diri pada kebiasaan, intuisi, pengalaman dan pendapat umum yang kebenarannya seringkali tidak dipertanyakan secara tuntas. Manfaat praktis yang dapat segera dirasakan merupakan pedoman utama bagi akal-sehat. Berbeda darinya, ilmu pengetahuan bekerja berdasarkan dan dibangun dari keraguan yang dipertahankan selama mungkin pada setiap jenjang ‘tahu.’ Cepat puas terhadap jawaban yang diperoleh bukan merupakan sikap yang tepat bagi ilmu pengetahuan. Sebaliknya, sikap kritis terhadap temuan-temuan ilmiah merupakan hal yang terpuji. Salah satu bentuk keraguan yang harus selalu dimunculkan adalah apakah kebenaran yang diklaim oleh ilmu pengetahuan terbukti secara universal. Bentuk keraguan yang lain, misalnya dapat muncul berupa pertanyaan “Kapan pernyatan bahwa bumi itu bulat bisa dianggap sebagai kebenaran?” Bila memang bulat, lalu mengapa ada dataran dan kelandaian, lembah yang curam? Salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari contoh keraguan tersebut adalah kehadiran sudut pandang (perspektif) yang selalu terkandung dan melekat pada kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah dianggap benar sebatas diikuti cara pandang atau perspektifnya. Dengan demikian prosedur kerja ilmiah, yakni proses dan cara yang ditempuh untuk mencapai ‘tahu,’ merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dalam ilmu. Secara garis besar, proses tersebut mengutamakan cara berpikir yang sistematis dan logis. Ilmu pengetahuan bersifat sistematis dalam arti bahwa proses dan cara yang ditempuh dalam ilmu harus dilakukan dengan memperhatikan unsur-unsur penyusun atau faktor-faktor penyebab sesuatu hal yang ingin diketahui serta hubungan logis antar unsur-unsur tersebut ke dalam sebuah sistem. Ilmu juga sistematis dalam pengertian bahwa kebenaran yang dicapai sebuah ilmu merupakan hasil dari cara kerja tertentu yang berlaku dalam ilmu tersebut, dan mungkin saja status kebenarannya tidak sederajat bila dipelajari secara ilmu lain. Itu sebabnya, ilmu sering pula diberi kata awalan ‘disiplin’ karena ia mensyaratkan keketatan prosedural tertentu.
Perbedaan ketiga terletak pada perbedaan antara rentang usia ‘kehidupan’ ilmu pengetahuan dan akal-sehat. Karena ilmu pengetahuan mengambil sikap kritis terhadap pengetahuan yang dihasilkannya, akibatnya rentang hidup ilmu cenderung lebih pendek daripada akal-sehat. Kebenaran demi kebenaran datang dan pergi silih berganti seiring dengan munculnya teori baru. Melalui prosedur tersebut ilmu pengetahuan menjadi sistem yang dinamis; ada temuan baru yang memperkaya khasanah ilmu, terjadi perluasan bidang kajian, tapi ada pula bagian-bagian ilmu pengetahuan yang berangsur-angsur ditinggalkan, menjadi usang, dan akhirnya tak lagi diingat apalagi dipakai. Itulah garis besar siklus hidup ilmu pada umumnya. Kecepatan perubahan dan rentang usia kebenaran seperti itu tentunya berbeda dari akal-sehat yang cenderung lebih lamban siklus hidupnya.
Bagaimana dengan siklus hidup ilmu-ilmu sosial-budaya? Sosiologi, sejarah, ilmu bahasa, antropologi, ekonomi dan geografi sosial juga tidak terlepas dari siklus semacam itu. Bahkan bisa dikatakan ilmu-ilmu sosial-budaya lebih dinamis daripada ilmu-ilmu alam (science), karena obyek studinya adalah perilaku dan mental manusia di segala penjuru dunia dari waktu ke waktu. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tentunya membawa implikasi pada kebenaran yang diklaim oleh ilmu pengetahuan sosial-budaya. Sebagai contoh, perkembangan teknologi komunikasi saat ini telah mengantar warga dunia pada era komunikasi global via internet, dengan email, voicemail, dan entah apa lagi. Perkembangan ini tentunya membawa akibat pada terjadinya perubahan perilaku komunikasi manusia. Misalnya, kita tidak lagi harus bertanya untuk mendapatkan informasi. Dilandasi slogan demokratisasi informasi, sekarang hanya dengan memiliki alamat email atau menjadi anggota mail-list tertentu, maka kita akan kebanjiran informasi – termasuk informasi-informasi yang tidak diinginkan. Artinya, bertanya (yang ternyata mempunyai fungsi kontrol terhadap informasi yang bakal diterima) menjadi kurang signifikan dalam komunikasi via internet. Memasuki dunia informasi internet bagaikan masuk ke dalam sebuah pasar atau mall raksasa yang riuh dengan teriakan, jawilan, rayuan penjaja – termasuk rayuan gombal dan kebohongan. Bila dalam perilaku bertanya secara konvensional kita masih bisa mengontrol pada siapa kita akan mencari informasi, dalam dunia internet para pemberi informasi tanpa wajah dengan leluasa beramai-ramai menyerbu kita. Demikianlah, perkembangan teknologi menuntun terjadinya perubahan sikap dan perilaku komunikasi manusia.
Bercermin dari contoh perkembangan teknologi informasi di atas, kita melihat hubungan dialektis antara dunia sehari-hari yang dihadapi dengan akal sehat dan dunia ilmu sebagai sebuah disiplin. Perubahan yang dibawa masuk ke dalam dunia sehari-hari oleh perkembangan ilmu pada gilirannya akan memberi pengaruh pada dunia ilmu itu sendiri. Hubungan dialektis semacam itu juga berlaku bagi ilmu-ilmu sosial-budaya. Perkenalan suatu masyarakat dengan agama dunia, yang juga memiliki bentuk kebenaran yang lain dari kebenaran akal-sehat maupun kebenaran ilmu pengetahuan, pada gilirannya menelorkan perubahan-perubahan dalam ilmu sosial-budaya. Demikian pula ketika paham evolusi yang bermula dari evolusi biologis diterapkan pada evolusi sosial-budaya, dunia keseharian dengan akal-sehatnya pun mengalami kegoncangan dan memerlukan penyesuaian.
Salah satu butir penting yang bisa disimpulkan dari paparan di atas adalah bahwa ‘nyawa’ dari kegiatan ilmiah tidak lain berupa pertanyaan yang perlu senantiasa dipupuk-kembangan serta dicarikan jawabnya melalui prosedur-prosedur keilmuan tertentu. ‘Tahu’ dalam arti hafal hanya menghasilkan hal-hal yang nantinya akan dilupakan, ‘tahu’ dalam arti dapat mengoperasikan hanya akan menghasilkan tukang-tukang ilmu pengetahuan; sementara, lebih dari kedua bentuk ‘tahu’ tersebut, ‘tahu’ dalam arti menguasai memerlukan pemahaman dan penguasaan mengenai prinsip-prinsip kerja keilmuan. Hanya dalam bentuk ‘tahu’ yang terakhir itulah kita dapat berperan-serta secara aktif dalam dunia ilmu.
Cultural Studies
Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan multidisipliner. Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir.
Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Berikut hanya akan dibahas beberapa hal yang saya pandang berkaitan dengan sejarah sosial (untuk bahasan selebihnya, silakan baca buku Chris Barker).
Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, diomongkan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan merupakan wilayah amatan cultural studies. Budaya bukanlah yang adiluhung saja. Pemahaman serupa ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari pemahaman antropologis atas budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life) sekelompok masyarakat. Salah satu pondasi terpenting bagi pendekatan yang memandang budaya sebagai kegiatan sehari-hari adalah pemahaman tentang konstruksi sosial atas realita (the social construction of reality). Dalam perspektif ini realitas dipahami dan diabaikan, diperbincangkan dan dilupakan, dihidupi atau dimatikan, dikelola atau dirusak, dimanfaatkan atau dihindari, berdasarkan sistem konstruksi yang beredar di kalangan warga masyarakat. ‘Tugas’ cultural studies adalah membongkar dan memaparkan unsur-unsur penyusun konstruk tersebut dan cara kerjanya, agar manusia sebagai subyek dapat melibatkan diri secara aktif dalam dunia konstruksi.
Dalam era teknologi informasi dewasa ini perhatian cultural studies terhadap masalah konstruksi sosial atas realita telah mengarahkan perhatian mereka pada media komunikasi massa, khususnya televisi – namun, sebenarnya juga pada film, internet, handphone, radio, koran, majalah, poster, kotbah/pidato, gosip, dan sebagainya. Persoalan yang diajukan adalah perihal kaitan antara representasi dan media yang digunakan.
Di samping itu, perspektif atau cara pandang cultural studies juga ditandai dengan adanya kesadaran tentang kehadiran relasi kuasa (power relations) tak berimbang di antara para pelaku budaya, yang terwujud melalui kuasa ekonomis, politis, ideologis, keagamaan, pendidikan, magis; di samping jasmaniah. Perhatian cultural studies terutama diberikan pada kelompok atau individu pelaku budaya yang terpinggirkan (marginalized), yang suaranya tidak didengarkan, yang kehadirannya diabaikan. Berkaitan dengannya, beberapa konsep terpenting dalam pendekatan konstruksi sosial atas realita adalah hegemoni dan identitas. Selanjutnya pemihakan pada yang terpinggirkan membawa cultural studies pada pemikiran, strategi dan praktik resistensi.
Dalam hal metodologi, cultural studies secara garis besar ditandai dengan gabungan antara metode dekonstruktif (mengurai unsur-unsur pembentuk struktur) dengan analisis teksutal (membedah struktur teks/bentuk ekspresi), metode etnografi (penggambaran rinci berdasarkan kacamata pemilik budaya), analisa respesi (komunikasi dipahami sebagai peristiwa interaktif antara sender dan reseptor yang dijembatani oleh media tertentu dalam konteks tertentu), dan meletakkan teori pada tingkatan praxis (‘teori’ yang dipraktikkan – theory of practice).
Dari Persamaan/Perbedaan ke Penyamaan/Pembedaan
Di antara ilmu-ilmu kemanusiaan lain, antropologi mempunyai posisi khusus dalam perbincangan seputar keragaman budaya. Kekhususan posisi yang dimaksud adalah bahwa antropologi merupakan ilmu yang sejak awal pertumbuhannya di akhir abad 19 hingga awal abad 21 ini menempatkan perbedaan dan keragaman budaya manusia sebagai fokus kajiannya. Dalam rentang waktu lebih dari dua abad antropologi berusaha mencerna others (orang lain), yang di awal abad 20 dipahami secara sederhana sebagai orang non-Eropa-Amerika atau lebih tepatnya orang-orang kulit berwarna (merah, kuning, coklat, hitam), beserta cara hidup mereka yang berbeda dari cara hidup orang kulit putih. Bukti-bukti keberadaan orang-orang kulit berwarna dan cara kehidupan mereka dikumpulkan dari keempat penjuru dunia, dikelompokkan, untuk akhirnya dimaknai. Seiring dengannya dikembangkan pula metode-metode keilmuan yang dipandang tepat untuk mencerna others dan difference, dan pemikiran tentang perbedaan cara hidup mereka pun dirumuskan dalam bentuk teori-teori (dari teori evolusi, difusi, fungsional, fungsional-struktural, struktural (Perancis), hingga teori-teori interpretatif dan pos-struktural).
Namun perhatian antropologi pada others, difference, atau keragaman budaya tidak serta merta ilmu ini membawa pada pemahaman tentang multikultural sejak dari awal. Pemahaman tentang multikultural berjalan seiring dengan gerak persebaran manusia di permukaan bumi yang menunjukkan gejala peningkatan sejak jaman kolonialisme, dan terus meluas saat bangsa-bangsa di daerah jajahan meraih kemerdekaan, hingga kini – saat jaring-jaring ekonomi, komunikasi dan transportasi melintasi dunia dan mempermudah orang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Tidak seperti pada masa sebelumnya, yaitu saat others dan difference berciri spasial – yakni dijumpai di luar wilayah sendiri; saat ini others dan difference ada di dalam wilayah spasial sendiri, di halaman depan rumah kita.
Dalam situasi sekarang ini, yang oleh seorang antropolog Amerika berdarah India disebut global ethnoscape, budaya-budaya memang tetap memuat perbedaan; namun perbedaan tidak lagi bersifat taksonomis, melainkan interaktif (Appadurai, 1991). Perbedaan lebih dilihat sebagai hasil tindakan interaktif membedakan daripada sebagai sebuah esensi. Dengan kata lain, perbedaan (seperti halnya kesamaan) lebih dipahami ibarat sebuah titik pada seutas tali yang dapat digeser ke kanan atau ke kiri. Demikianlah terjadi perubahan cara pandang dalam antropologi, misalnya, dari pemahaman suatu kelompok budaya sebagai ethnic (etnik, suku-bangsa) menjadi ethnicity (etnisitas, kesuku-bangsaan); dari Batak menjadi ke-Batak-an. Namun perlu ditambahkan, bahwa pada perspektif konstruktif ini perlu ditambahkan catatan bahwa ‘penggeseran’ titik pembatas kesamaan atau perbedaan hanya dapat dilakukan sepanjang utas tali tempat titik itu berada. Lebih jelasnya: pembedaan dan penyamaan dua atau lebih entitas hanya dapat dilakukan di atas landasan substansi yang nyata-nyata ada pada entitas-entitas tersebut. Implikasi lebih lanjut dari perspektif konstruktif seperti di atas berupa pemahaman tentang dimensi power relation (relasi kuasa) dalam tindak pembedaan/penyamaan (Eriksen, 1993). Dengan demikian, sifat multikultur atau keragaman pun – sebagai akibat dari tindak pembedaan dan penyamaan – berdimensi kuasa.
Perubahan tata pergaulan masyarakat dunia dan perkembangan pemikiran antropologis mengenai perbedaan/persamaan dan keragaman seperti digambarkan singkat di atas membawa problematika pada bidang etik ilmu ini. Permasalahan etik yang terimbas adalah persoalan relativitas budaya dan etnosentrisme. Etnosentrisme, suatu cara penilaian others berdasarkan sistem nilai sendiri, pada umumnya dipandang sebagai salah satu ‘dosa besar’ yang harus dijauhi antropolog. Kritik tajam yang dilancarkan para antropolog pada pendiri ilmu ini antara lain berupa tuduhan sikap etnosentris para pencetus teori evolusi waktu itu. Dalam pandangan mereka, budaya seharusnya dinilai dengan menggunakan ukuran yang dipakai pemilik budaya itu sendiri, bukan hanya dalam persoalan penilaian moralitas, tetapi juga dalam cara pemahamannya. Sebagai tandingan atas etnosentrisme, dilancarkan pandangan relativitas (kenisbian) budaya.
Pada umumnya, antropolog berpegang teguh pada pendirian tentang sifat relatif dari budaya. Namun, seiring dengan meluasnya proses global ethnoscapes, ketika others hidup bersama di antara kita, tampak adanya pemikiran ulang mengenai etnosentrisme dan relativitas budaya. Persoalannya adalah ternyata tindak penyamaan dan pembedaan yang dilakukan dalam masyarakat dengan keragaman budaya mengalami benturan-benturan yang berarti. Haruskah orang tetap bersiteguh pada relativitas budaya terhadap tetangganya yang berasal dari suku lain (other) yang mempekerjakan anak perempuannya sebagai pelacur? Apakah bila orang tersebut bersikap negatif terhadap tetangganya itu lantas dapat dicap sebagai etnosentris? Banyak permasalahan serupa muncul dalam masyarakat multikultur yang membawa manusia menjadi makhluk yang hilang akan pengetahuan social.
Mereka yang menganut paham naturalisme dan positivisme meyakini Sitor pasti telah melakukan kesalahan. Mana mungkin dia dapat melihat bulan pada malam lebaran? Bukankah pada malam itu bulan tidak dapat dilihat mata telanjang, sehingga para penentu saat akhir masa puasa harus menggunakan teropong untuk menentukan apakah bulan sudah muncul. Kesimpulannya: Sitor ngaco.
Lain lagi dengan pendapat kritikus yang menganut paham simbolik. Menurut mereka Sitor tidak melaporkan keadaan alam empirik lewat puisi itu. Benda-benda yang disebut dalam selarik puisi itu adalah simbol dari hal lain. Lantas, para penganut paham ini membuat penyejajaran antara malam dengan kuburan, serta Lebaran dengan bulan. Malam dan kuburan dianggap memiliki kesejajaran kualitas: gelap, hitam, kotor; sementara bulan dan lebaran berkonotasi pada: terang, putih, bersih. Dalam puisi tersebut kedua kualitas tersebut diperantarai oleh kata “di atas.” Dengan demikian, secara keseluruhan puisi Sitor yang paling ekonomis itu bermakna (dimaknai): terang (putih/bersih/suci) di atas (mengatasi) gelap (hitam/kotor/dosa).
Perbedaan tafsir antara pihak naturalis-positivis dengan pihak simbolis-strukturalis memunculkan gagasan: bagaimana kalau Sitor sendiri diminta menjelaskan maksud puisinya tersebut. Maka diundanglah Sitor untuk menjelaskan proses penciptaan puisi itu. Sitor pun kemudian bercerita; suatu malam ia berjalan kaki hendak menuju rumah Pramoedya Ananta Toer, dan ternyata ia tersesat. Di saat tersesat itu, ia melihat sebuah tembok putih. Ia penasaran; apa yang ada di balik tembok itu. Maka, Sitor pun lantas naik di atas batu di dekat tembok, dan melongok: “… Oo… kuburan.” Kemudian ia turun dan melanjutkan jalan kakinya mencari rumah Pram. Rupanya pengalaman menemukan tembok putih, melongok, dan melihat kuburan tersebut sangat membekas dalam diri Sitor, dan tidak dapat segera dilupakan. Ia kemudian mengekspresikan pengalaman itu dalam puisi sebarisnya yang telah menghebohkan banyak orang itu. Tidak dijelaskan, apakah peristiwa itu dialaminya pada malam lebaran atau malam-malam yang lain, tidak pula dijelaskan apakah malam itu dia melihat bulan.
Kisah perdebatan seputar puisi Sitor di atas, yang diceritakan kembali berdasarkan buku Proses Kreatif susunan Pamusuk Eneste, merupakan ilustrasi yang baik mengenai perbedaan antara realitas, pengalaman, dan ekspresi. Perbedaan antara ketiga hal itu telah menarik perhatian para antropolog dan dituangkan, antara lain, dalam buku Anthropology of Experience yang diedit oleh Victor W. Turner dan Edward M. Bruner (1986). Mengawali kumpulan karangan yang terkumpul di buku itu, Bruner menegaskan adanya jarak antara (1) realitas (yang senyatanya ada di luar sana, apapun itu – status ontologis sesuatu), (2) pengalaman (bagaimana realitas tersebut menghampiri kesadaran manusia – atau lebih tepatnya, bagaimana kita menautkan diri dan menginternalisasi realitas), dan (3) ekspresi (bagaimana pengalaman seseorang dibingkai dan diartikulasikan). Ketiga hal itu tidak identik satu sama lain.
Realitas bersifat umum, general (walaupun barangkali tidak selalu universal), dalam arti kenyataan yang sama dapat dialami oleh banyak orang. Banyak orang dapat mengalami kejadian tersesat di waktu malam di daerah yang sama dan menjumpai kuburan yang sama (bahkan pada waktu yang sama). Namun, realitas yang sama itu selalu dialami orang per orang, masing-masing dengan disposisi mental serta ketubuhannya sendiri. Dengan lain kata: pengalaman itu selalu bersifat individual, subyektif. Disposisi mental (alam pikir, rasa, emosi yang ada dalam diri) dan ketubuhan (kondisi fisik dan posisinya dalam lingkungan fisik) Sitor pribadi lah yang telah mengarahkan kejadian tersesat tadi kepada sebuah pengalaman yang unik dan membekas. Kalau kejadian itu saya atau Anda alami, barangkali tidak akan teralami seperti itu. Artinya, realitas yang sama, umum, general, ketika dialami seseorang akan ‘disaring’ lewat disposisi mental dan fisiknya menjadi pengalaman diri. Maka, terciptalah jarak atau perbedaan antara realitas dan pengalaman, pengalaman tidak lagi identik dengan realitas.
Lebih lanjut dikatakan Bruner bahwa hubungan antara realita, pengalaman, dan ekspresinya bersifat dialogis dan dialektis. Ketika pengalaman sesorang diekspresikan, artinya dituangkan dalam bentuk atau tingkahlaku ter-indra (terdengar, terlihat, tercecap, terasa, terbaui), maka hasil interpretasi subyektif atas realita tadi terlahir atau hadir dalam realita. Sementara itu, ekspresi terstruktur oleh pengalaman (kita hanya dapat mengekspresikan yang teralami), sedangkan pengalaman juga tersktruktur oleh ekspresi (orang Jawa mengalami kehormatan melalui ekspresi kebahasaan krama, atau pengalaman keruangan terstruktur oleh ekspresi artistik dan teknis sang arsitek).
Dari sini kita dapat beralih pada persoalan media ekspresi. Sebagai sebuah aktivitas pengejawantahan, pewujudan, materialisasi, penubuhan (embodiment), ekspresi senantiasa membutuhkan media. Secara teoretik dapat dikatakan segala sesuatu yang indrawi berpeluang untuk dijadikan media ekspresi. Namun dalam praktiknya, peluang tersebut sedikit banyak terbatasi. Salah satu pembatasnya adalah pengalaman itu sendiri. Sekedar sebagai sebuah contoh sederhana, mari kita perhatikan ekspresi kebahasaan untuk rasa panas. Dalam bahasa Indonesia, rasa panas antara lain diekspresikan lewat kata ‘merah,’ misalnya dalam frasa ‘merah membara.’ Rasa ‘panas’ dan warna ‘merah’ merupakan gejala yang dialami manusia, dan hubungan di antara keduanya dijembatani oleh pengalaman manusia atas kedua gejala tersebut: bara atau api yang terasa panas sekaligus memancarkan sinar berwarna merah. Panasnya bara api tidak dialami bersama dengan terindranya warna hijau, misalnya. Di sini kita dapati contoh bagaimana pengalaman tersebut men-struktur ekspresi kebahasaan untuk pengertian panas.
Namun, sebenarnya perkembangan teknologi ‘perkomporan’ menghadirkan realita lain: sinar biru yang terpancar dari kompor gas ternyata menandakan suhu api yang lebih tinggi daripada sinar berwarna merah. Dengan demikian, sebenarnya terdapat peluang untuk mengekspresikan ‘panas’ lewat kata ‘biru.’ Hanya saja, peluang semacam itu baru terbuka ketika kita telah mengalaminya. Sebelum hadirnya teknologi kompor gas orang tidak pernah membayangkan (artinya: memiliki pengalaman mental) bahwa warna biru dapat dihasilkan oleh benda panas. Pengalaman selalu bersifat historis (menyejarah), ia berada dalam kurun waktu material dan teknologi manusia tertentu.
Bahkan, ketika teknologi kompor gas sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan kita sehari-hari, frasa ‘panas membiru’ belum lagi lazim diungkapkan. Di sini terlihat bagaimana pengalaman kebahasaan turut men-struktur ekspresi, yaitu dalam bentuk konvensi (kesepakatan) atau kelaziman bahasa. Lewat kesepakatan dan kelaziman seperti itu ekspresi kebahasaan menjadi lebih mudah dan lebih tepat dimengerti; meskipun pada dasarnya pengalaman selalu bersifat personal (hanya dapat dimengerti sepenuhnya oleh pemilik pengalaman) dan dalam komunikasi kita selalu menafsir ekspresi [kebahasaan, ketubuhan, materi] komunikator. Singkat kata, pengalaman [kebahasaan] yang sudah ada turut membingkai dan membatasi tindakan ekspresi manusia.
Selain oleh pengalaman (lebih tepatnya pengalaman kolektif yang terkonvensi), ekspresi juga dibatasi oleh sifat dan kondisi material media ekspresinya. Kembali ke contoh ekspresi rasa panas, hal itu dapat diekspresikan lewat media bahasa tulis, bahasa lisan, angka, grafis, warna, gerak tubuh, dan entah apa lagi. Setiap media ekspresi memiliki sifatnya masing-masing, dan pada gilirannya sifat-sifat itu ikut menentukan seberapa jauh/banyak/luas materi tersebut mampu mengekspresikan rasa panas. Misalnya, bahasa tulis cenderung beroperasi di wilayah kognitif (alam pikir). Tulisan ‘panas’ merangsang pengertian kita mengenai suhu, seperti halnya angka penunjuk suhu pada termometer. Namun, bahasa tulis pada umunya cenderung kurang berdaya untuk mengolah perasaan (afeksi) pembacanya. Untuk dapat mengelola rasa lebih baik, maka barangkali perlu diurus perihal grafis, misalnya: panas panas panas panas panas panas
atau bahkan …. ……
Pada saat kita mempertimbangkan media ekspresi, maka sebenarnya kita berurusan dengan persoalan representasi. Ekspresi adalah representasi, dan representasi atas realita tidak sama dengan realita itu sendiri. Ekspresi menghadirkan realita ‘kedua,’ ‘ketiga,’ dan seterusnya yang sama nyatanya seperti halnya realita ‘pertama.’
Ilmu Pengetahuan
Hubungan antara realitas, pengalaman, dan ekspresinya seperti disebutkan di atas juga berlaku dalam dunia keilmuan, atau lebih tepatnya dunia ilmu pengetahuan. Realitas merupakan titik berangkat dari semua ilmu pengetahuan, baik itu realitas empirik maupun realitas non-empirik. Bagi ilmu pengetahuan tertentu, realitas juga merupakan titik akhir – hal yang ingin dituju atau dihasilkan, diciptakan oleh ilmu pengetahuan. Namun demikian, bagaimana realitas itu dialami (experienced) oleh [pelaku] ilmu pengetahuan jelas berbeda dengan yang dialami oleh (misalnya) seorang penyair. Jadi, dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan salah satu cara mengalami realitas – sehingga dalam pengertian ini dapat kira rujuk kembali petuah leluhur Jawa yang mengatakan bahwa “ngelmu iku jalaran lan kanthi laku.” Tentu saja, ngelmu tidak sama dengan ilmu pengetahuan. Namun wejangan tersebut menegaskan peran ngelmu dan ilmu pengetahuan sebagai cara memandang menempatkan diri, dan mengelola realita.
Bahkan, dalam dunia ilmu pengetahuan (sebenarnya seperti juga dalam dunia ngelmu) tidak terdapat ketunggalan cara mengalami realita, dan perbedaan cara mengalami tersebut pada gilirannya menghasilkan beragam jenis ‘tahu’ yang diekspresikan masing-masing disiplin ilmu pengetahuan. Di atas telah disebutkan bahwa pengalaman merupakan hal yang subyektif. Pada lingkup ilmu pengetahuan, subyektivitas pengalaman tidak tampil dalam bentuk subyektivitas orang per orang, melainkan sebagai subyektivitas disiplin keilmuan, atau subyektivitas paradigmatik. Realitas tubuh manusia dialami oleh ilmu kedokteran sebagai sebuah sistem biologi, sementara tubuh yang sama dialami oleh ilmu sosial sebagai tubuh perempuan dan laki-laki (misalnya). Ilmu kedokteran dan ilmu sosial menegakkan ‘penge-tahu-an’ mereka masing-masing berdasarkan cara memandang, menempatkan diri, dan mengelola realita yang sama, yaitu tubuh manusia.
Sebuah implikasi penting dari penjelasan semacam itu adalah dengan demikian ‘ke-tahu-an’ yang diperoleh melalui masing-masing cara mengalami itu tidak akan pernah menghasilkan ‘ke-tahu-an’ yang total, menyeluruh. Kebenaran setiap bidang ilmu pengetahuan selalu merupakan kebenaran parsial, sebagian saja: yang batas-batasnya ditentukan oleh cara yang ditempuh untuk mengalaminya. Atau, dipahami dari sisi sebaliknya: kebenaran realita terlalu luas untuk dapat dialami dan dimengerti (diketahui) oleh masing-masing ilmu pengetahuan. Itulah pengertian pertama dari pernyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah obyektif, tidak akan pernah netral – yaitu karena berlakunya subyektivitas yang dibangun berdasarkan asumsi perspektif dan metodologis. Pengetahuan niscaya tentang sesuatu, tidak pernah tentang segalanya.
Ilmu pengetahuan (alam, sosial, budaya) dan akal-sehat (common-sense) dalam hidup sehari-hari tumbuh dari akar yang sama, yaitu keingin-tahuan manusia. Namun pertumbuhan keduanya berbeda. Perbedaan tersebut bisa dipahami sebagai berikut: Pertama, akal-sehat berorientasi pada pemecahan problem nyata sehari-hari yang praktis, sementara ilmu pengetahuan bertujuan pada penemuan penjelasan tentang tata dan keteraturan gejala-gejala yang dijumpai manusia. Akal-sehat cenderung mencari jawaban-jawaban atas satu per satu persoalan yang dihadapi; dan persoalan keseharian serta pemecahannya kebanyakan bersifat terbatas pada hal ini, di sini, saat ini. Oleh karenanya pengetahuan yang dihasilkan melalui akal sehat mempunyai keterbatasan penerapan pada situasi dan kondisi yang serupa. Akal sehat cenderung kontekstual. Berbeda darinya, ilmu pengetahuan mengarah pada penjelasan-penjelasan yang bersifat general (umum) tentang kelompok atau jenis gejala tertentu. Itu sebabnya ilmu-pengetahuan mengembangkan teori, konsep, rumus; yang tidak sekedar mengacu pada hal-hal yang khusus saja, melainkan berupaya menemukan penjelasan bagi hal-hal sejenis yang muncul di waktu dan dalam ruang yang berbeda. Dengan kata lain ilmu pengetahuan berupaya mencapai suatu pengetahuan yang bersifat universal. Karena sifatnya yang universal itu, salah satu ciri yang membedakan ilmu dari akal-sehat adalah lebih tingginya tingkat abstraksi pada ilmu.
Pebedaan berikutnya terletak pada cara kerja kedua jenis pengetahuan tersebut. Cara kerja akal-sehat dalam kehidupan sehari-hari menyandarkan diri pada kebiasaan, intuisi, pengalaman dan pendapat umum yang kebenarannya seringkali tidak dipertanyakan secara tuntas. Manfaat praktis yang dapat segera dirasakan merupakan pedoman utama bagi akal-sehat. Berbeda darinya, ilmu pengetahuan bekerja berdasarkan dan dibangun dari keraguan yang dipertahankan selama mungkin pada setiap jenjang ‘tahu.’ Cepat puas terhadap jawaban yang diperoleh bukan merupakan sikap yang tepat bagi ilmu pengetahuan. Sebaliknya, sikap kritis terhadap temuan-temuan ilmiah merupakan hal yang terpuji. Salah satu bentuk keraguan yang harus selalu dimunculkan adalah apakah kebenaran yang diklaim oleh ilmu pengetahuan terbukti secara universal. Bentuk keraguan yang lain, misalnya dapat muncul berupa pertanyaan “Kapan pernyatan bahwa bumi itu bulat bisa dianggap sebagai kebenaran?” Bila memang bulat, lalu mengapa ada dataran dan kelandaian, lembah yang curam? Salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari contoh keraguan tersebut adalah kehadiran sudut pandang (perspektif) yang selalu terkandung dan melekat pada kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah dianggap benar sebatas diikuti cara pandang atau perspektifnya. Dengan demikian prosedur kerja ilmiah, yakni proses dan cara yang ditempuh untuk mencapai ‘tahu,’ merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dalam ilmu. Secara garis besar, proses tersebut mengutamakan cara berpikir yang sistematis dan logis. Ilmu pengetahuan bersifat sistematis dalam arti bahwa proses dan cara yang ditempuh dalam ilmu harus dilakukan dengan memperhatikan unsur-unsur penyusun atau faktor-faktor penyebab sesuatu hal yang ingin diketahui serta hubungan logis antar unsur-unsur tersebut ke dalam sebuah sistem. Ilmu juga sistematis dalam pengertian bahwa kebenaran yang dicapai sebuah ilmu merupakan hasil dari cara kerja tertentu yang berlaku dalam ilmu tersebut, dan mungkin saja status kebenarannya tidak sederajat bila dipelajari secara ilmu lain. Itu sebabnya, ilmu sering pula diberi kata awalan ‘disiplin’ karena ia mensyaratkan keketatan prosedural tertentu.
Perbedaan ketiga terletak pada perbedaan antara rentang usia ‘kehidupan’ ilmu pengetahuan dan akal-sehat. Karena ilmu pengetahuan mengambil sikap kritis terhadap pengetahuan yang dihasilkannya, akibatnya rentang hidup ilmu cenderung lebih pendek daripada akal-sehat. Kebenaran demi kebenaran datang dan pergi silih berganti seiring dengan munculnya teori baru. Melalui prosedur tersebut ilmu pengetahuan menjadi sistem yang dinamis; ada temuan baru yang memperkaya khasanah ilmu, terjadi perluasan bidang kajian, tapi ada pula bagian-bagian ilmu pengetahuan yang berangsur-angsur ditinggalkan, menjadi usang, dan akhirnya tak lagi diingat apalagi dipakai. Itulah garis besar siklus hidup ilmu pada umumnya. Kecepatan perubahan dan rentang usia kebenaran seperti itu tentunya berbeda dari akal-sehat yang cenderung lebih lamban siklus hidupnya.
Bagaimana dengan siklus hidup ilmu-ilmu sosial-budaya? Sosiologi, sejarah, ilmu bahasa, antropologi, ekonomi dan geografi sosial juga tidak terlepas dari siklus semacam itu. Bahkan bisa dikatakan ilmu-ilmu sosial-budaya lebih dinamis daripada ilmu-ilmu alam (science), karena obyek studinya adalah perilaku dan mental manusia di segala penjuru dunia dari waktu ke waktu. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tentunya membawa implikasi pada kebenaran yang diklaim oleh ilmu pengetahuan sosial-budaya. Sebagai contoh, perkembangan teknologi komunikasi saat ini telah mengantar warga dunia pada era komunikasi global via internet, dengan email, voicemail, dan entah apa lagi. Perkembangan ini tentunya membawa akibat pada terjadinya perubahan perilaku komunikasi manusia. Misalnya, kita tidak lagi harus bertanya untuk mendapatkan informasi. Dilandasi slogan demokratisasi informasi, sekarang hanya dengan memiliki alamat email atau menjadi anggota mail-list tertentu, maka kita akan kebanjiran informasi – termasuk informasi-informasi yang tidak diinginkan. Artinya, bertanya (yang ternyata mempunyai fungsi kontrol terhadap informasi yang bakal diterima) menjadi kurang signifikan dalam komunikasi via internet. Memasuki dunia informasi internet bagaikan masuk ke dalam sebuah pasar atau mall raksasa yang riuh dengan teriakan, jawilan, rayuan penjaja – termasuk rayuan gombal dan kebohongan. Bila dalam perilaku bertanya secara konvensional kita masih bisa mengontrol pada siapa kita akan mencari informasi, dalam dunia internet para pemberi informasi tanpa wajah dengan leluasa beramai-ramai menyerbu kita. Demikianlah, perkembangan teknologi menuntun terjadinya perubahan sikap dan perilaku komunikasi manusia.
Bercermin dari contoh perkembangan teknologi informasi di atas, kita melihat hubungan dialektis antara dunia sehari-hari yang dihadapi dengan akal sehat dan dunia ilmu sebagai sebuah disiplin. Perubahan yang dibawa masuk ke dalam dunia sehari-hari oleh perkembangan ilmu pada gilirannya akan memberi pengaruh pada dunia ilmu itu sendiri. Hubungan dialektis semacam itu juga berlaku bagi ilmu-ilmu sosial-budaya. Perkenalan suatu masyarakat dengan agama dunia, yang juga memiliki bentuk kebenaran yang lain dari kebenaran akal-sehat maupun kebenaran ilmu pengetahuan, pada gilirannya menelorkan perubahan-perubahan dalam ilmu sosial-budaya. Demikian pula ketika paham evolusi yang bermula dari evolusi biologis diterapkan pada evolusi sosial-budaya, dunia keseharian dengan akal-sehatnya pun mengalami kegoncangan dan memerlukan penyesuaian.
Salah satu butir penting yang bisa disimpulkan dari paparan di atas adalah bahwa ‘nyawa’ dari kegiatan ilmiah tidak lain berupa pertanyaan yang perlu senantiasa dipupuk-kembangan serta dicarikan jawabnya melalui prosedur-prosedur keilmuan tertentu. ‘Tahu’ dalam arti hafal hanya menghasilkan hal-hal yang nantinya akan dilupakan, ‘tahu’ dalam arti dapat mengoperasikan hanya akan menghasilkan tukang-tukang ilmu pengetahuan; sementara, lebih dari kedua bentuk ‘tahu’ tersebut, ‘tahu’ dalam arti menguasai memerlukan pemahaman dan penguasaan mengenai prinsip-prinsip kerja keilmuan. Hanya dalam bentuk ‘tahu’ yang terakhir itulah kita dapat berperan-serta secara aktif dalam dunia ilmu.
Cultural Studies
Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan multidisipliner. Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir.
Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Berikut hanya akan dibahas beberapa hal yang saya pandang berkaitan dengan sejarah sosial (untuk bahasan selebihnya, silakan baca buku Chris Barker).
Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, diomongkan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan merupakan wilayah amatan cultural studies. Budaya bukanlah yang adiluhung saja. Pemahaman serupa ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari pemahaman antropologis atas budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life) sekelompok masyarakat. Salah satu pondasi terpenting bagi pendekatan yang memandang budaya sebagai kegiatan sehari-hari adalah pemahaman tentang konstruksi sosial atas realita (the social construction of reality). Dalam perspektif ini realitas dipahami dan diabaikan, diperbincangkan dan dilupakan, dihidupi atau dimatikan, dikelola atau dirusak, dimanfaatkan atau dihindari, berdasarkan sistem konstruksi yang beredar di kalangan warga masyarakat. ‘Tugas’ cultural studies adalah membongkar dan memaparkan unsur-unsur penyusun konstruk tersebut dan cara kerjanya, agar manusia sebagai subyek dapat melibatkan diri secara aktif dalam dunia konstruksi.
Dalam era teknologi informasi dewasa ini perhatian cultural studies terhadap masalah konstruksi sosial atas realita telah mengarahkan perhatian mereka pada media komunikasi massa, khususnya televisi – namun, sebenarnya juga pada film, internet, handphone, radio, koran, majalah, poster, kotbah/pidato, gosip, dan sebagainya. Persoalan yang diajukan adalah perihal kaitan antara representasi dan media yang digunakan.
Di samping itu, perspektif atau cara pandang cultural studies juga ditandai dengan adanya kesadaran tentang kehadiran relasi kuasa (power relations) tak berimbang di antara para pelaku budaya, yang terwujud melalui kuasa ekonomis, politis, ideologis, keagamaan, pendidikan, magis; di samping jasmaniah. Perhatian cultural studies terutama diberikan pada kelompok atau individu pelaku budaya yang terpinggirkan (marginalized), yang suaranya tidak didengarkan, yang kehadirannya diabaikan. Berkaitan dengannya, beberapa konsep terpenting dalam pendekatan konstruksi sosial atas realita adalah hegemoni dan identitas. Selanjutnya pemihakan pada yang terpinggirkan membawa cultural studies pada pemikiran, strategi dan praktik resistensi.
Dalam hal metodologi, cultural studies secara garis besar ditandai dengan gabungan antara metode dekonstruktif (mengurai unsur-unsur pembentuk struktur) dengan analisis teksutal (membedah struktur teks/bentuk ekspresi), metode etnografi (penggambaran rinci berdasarkan kacamata pemilik budaya), analisa respesi (komunikasi dipahami sebagai peristiwa interaktif antara sender dan reseptor yang dijembatani oleh media tertentu dalam konteks tertentu), dan meletakkan teori pada tingkatan praxis (‘teori’ yang dipraktikkan – theory of practice).
Dari Persamaan/Perbedaan ke Penyamaan/Pembedaan
Di antara ilmu-ilmu kemanusiaan lain, antropologi mempunyai posisi khusus dalam perbincangan seputar keragaman budaya. Kekhususan posisi yang dimaksud adalah bahwa antropologi merupakan ilmu yang sejak awal pertumbuhannya di akhir abad 19 hingga awal abad 21 ini menempatkan perbedaan dan keragaman budaya manusia sebagai fokus kajiannya. Dalam rentang waktu lebih dari dua abad antropologi berusaha mencerna others (orang lain), yang di awal abad 20 dipahami secara sederhana sebagai orang non-Eropa-Amerika atau lebih tepatnya orang-orang kulit berwarna (merah, kuning, coklat, hitam), beserta cara hidup mereka yang berbeda dari cara hidup orang kulit putih. Bukti-bukti keberadaan orang-orang kulit berwarna dan cara kehidupan mereka dikumpulkan dari keempat penjuru dunia, dikelompokkan, untuk akhirnya dimaknai. Seiring dengannya dikembangkan pula metode-metode keilmuan yang dipandang tepat untuk mencerna others dan difference, dan pemikiran tentang perbedaan cara hidup mereka pun dirumuskan dalam bentuk teori-teori (dari teori evolusi, difusi, fungsional, fungsional-struktural, struktural (Perancis), hingga teori-teori interpretatif dan pos-struktural).
Namun perhatian antropologi pada others, difference, atau keragaman budaya tidak serta merta ilmu ini membawa pada pemahaman tentang multikultural sejak dari awal. Pemahaman tentang multikultural berjalan seiring dengan gerak persebaran manusia di permukaan bumi yang menunjukkan gejala peningkatan sejak jaman kolonialisme, dan terus meluas saat bangsa-bangsa di daerah jajahan meraih kemerdekaan, hingga kini – saat jaring-jaring ekonomi, komunikasi dan transportasi melintasi dunia dan mempermudah orang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Tidak seperti pada masa sebelumnya, yaitu saat others dan difference berciri spasial – yakni dijumpai di luar wilayah sendiri; saat ini others dan difference ada di dalam wilayah spasial sendiri, di halaman depan rumah kita.
Dalam situasi sekarang ini, yang oleh seorang antropolog Amerika berdarah India disebut global ethnoscape, budaya-budaya memang tetap memuat perbedaan; namun perbedaan tidak lagi bersifat taksonomis, melainkan interaktif (Appadurai, 1991). Perbedaan lebih dilihat sebagai hasil tindakan interaktif membedakan daripada sebagai sebuah esensi. Dengan kata lain, perbedaan (seperti halnya kesamaan) lebih dipahami ibarat sebuah titik pada seutas tali yang dapat digeser ke kanan atau ke kiri. Demikianlah terjadi perubahan cara pandang dalam antropologi, misalnya, dari pemahaman suatu kelompok budaya sebagai ethnic (etnik, suku-bangsa) menjadi ethnicity (etnisitas, kesuku-bangsaan); dari Batak menjadi ke-Batak-an. Namun perlu ditambahkan, bahwa pada perspektif konstruktif ini perlu ditambahkan catatan bahwa ‘penggeseran’ titik pembatas kesamaan atau perbedaan hanya dapat dilakukan sepanjang utas tali tempat titik itu berada. Lebih jelasnya: pembedaan dan penyamaan dua atau lebih entitas hanya dapat dilakukan di atas landasan substansi yang nyata-nyata ada pada entitas-entitas tersebut. Implikasi lebih lanjut dari perspektif konstruktif seperti di atas berupa pemahaman tentang dimensi power relation (relasi kuasa) dalam tindak pembedaan/penyamaan (Eriksen, 1993). Dengan demikian, sifat multikultur atau keragaman pun – sebagai akibat dari tindak pembedaan dan penyamaan – berdimensi kuasa.
Perubahan tata pergaulan masyarakat dunia dan perkembangan pemikiran antropologis mengenai perbedaan/persamaan dan keragaman seperti digambarkan singkat di atas membawa problematika pada bidang etik ilmu ini. Permasalahan etik yang terimbas adalah persoalan relativitas budaya dan etnosentrisme. Etnosentrisme, suatu cara penilaian others berdasarkan sistem nilai sendiri, pada umumnya dipandang sebagai salah satu ‘dosa besar’ yang harus dijauhi antropolog. Kritik tajam yang dilancarkan para antropolog pada pendiri ilmu ini antara lain berupa tuduhan sikap etnosentris para pencetus teori evolusi waktu itu. Dalam pandangan mereka, budaya seharusnya dinilai dengan menggunakan ukuran yang dipakai pemilik budaya itu sendiri, bukan hanya dalam persoalan penilaian moralitas, tetapi juga dalam cara pemahamannya. Sebagai tandingan atas etnosentrisme, dilancarkan pandangan relativitas (kenisbian) budaya.
Pada umumnya, antropolog berpegang teguh pada pendirian tentang sifat relatif dari budaya. Namun, seiring dengan meluasnya proses global ethnoscapes, ketika others hidup bersama di antara kita, tampak adanya pemikiran ulang mengenai etnosentrisme dan relativitas budaya. Persoalannya adalah ternyata tindak penyamaan dan pembedaan yang dilakukan dalam masyarakat dengan keragaman budaya mengalami benturan-benturan yang berarti. Haruskah orang tetap bersiteguh pada relativitas budaya terhadap tetangganya yang berasal dari suku lain (other) yang mempekerjakan anak perempuannya sebagai pelacur? Apakah bila orang tersebut bersikap negatif terhadap tetangganya itu lantas dapat dicap sebagai etnosentris? Banyak permasalahan serupa muncul dalam masyarakat multikultur yang membawa manusia menjadi makhluk yang hilang akan pengetahuan social.
G.R. Lono Lastoro Simatupang (Dosen Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar