Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
Kasus Pertama
Saham PT Krakatau Steel; Dewan Pers: Ada Pelanggaran Kode Etik
Dewan Pers menilai, terjadi pelanggaran kode etik
dalam kasus dugaan permintaan hak istimewa untuk membeli saham penawaran umum
perdana PT Krakatau Steel oleh wartawan. Pelanggaran itu berupa penyalahgunaan
profesi serta pemanfaatan jaringan yang dimiliki sejumlah wartawan peliput di
Bursa Efek Indonesia.
”Tindakan itu menimbulkan konflik kepentingan
karena sebagai wartawan yang meliput kegiatan di Bursa Efek Indonesia juga
berusaha terlibat dalam proses jual beli saham untuk kepentingan pribadi. Ini
bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik,” ujar Ketua Komisi Pengaduan
Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Agus Sudibyo di Jakarta, Rabu
(1/12).
Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa
wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Dalam
situs Dewan Pers, tafsiran terhadap pasal ini, (a) menyalahgunakan profesi
adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang
diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum;
(b) suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari
pihak lain yang memengaruhi independensi.
Agus menyatakan, Dewan Pers menghargai sikap
profesional dan niat baik detik.com, Kompas, MetroTV, dan Seputar Indonesia
dalam proses penyelesaian kasus ini. Dewan Pers mengimbau segenap pers
Indonesia menegakkan kode etik jurnalistik dan profesionalisme media.
Harian Kompas pun menghormati putusan Dewan Pers
yang menyatakan seorang wartawan Kompas berinisial RN terbukti melanggar kode
etik jurnalistik. Pada hari yang sama, harian Kompas telah menindaklanjuti
putusan Dewan Pers itu dengan memberhentikan wartawannya itu sebagai wartawan
Kompas.
”Manajemen harian Kompas pun memberhentikan yang
bersangkutan sebagai wartawan Kompas. Pemberhentian berlaku sejak
diterbitkannya Keputusan Dewan Pers,” kata Redaktur Pelaksana Harian Kompas
Budiman Tanuredjo.
Dalam keputusannya, Dewan Pers sejauh ini belum
menemukan bukti kuat adanya praktik pemerasan, yang dilakukan wartawan, terkait
dengan kasus pemberitaan penawaran umum perdana saham PT Krakatau Steel.
Keputusan ini dibuat Dewan Pers setelah melakukan pemeriksaan silang dan
klarifikasi dengan pihak-pihak terkait.
Kasus Kedua
Wartawan Kecipratan APBD Provinsi
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kali ini
juga membidik media. Wartawan peliput kegiatan Humas Pemerintah Provinsi juga
kecipratan anggaran daerah. Biro Humas dan Protokol Pemprov Sulawesi Selatan
mengusulkan anggaran untuk jasa peliputan kegiatan Pemprov Sulawesi Selatan
yang cukup besar. Dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) 2010 disebutkan adanya
belanja upah atau jasa pihak ketiga sebesar Rp 675 juta.
Dalam rinciannya, anggaran itu ditujukan ke
beberapa media tertentu. Anggaran terbesar dialokasikan untuk jasa atau upah
peliput dan publikasi. Angkanya mencapai Rp 240 juta selama 12 bulan. Tidak
jelas kepada siapa dana itu akan diberikan. Dalam draft APBD, mereka hanya
mencantum demikian.
Selain itu, ada pula anggaran khusus untuk jasa
liputan TVRI Sulawesi Selatan sebesar Rp 120 juta, jasa/upah petugas TVRI
Sulawesi Selatan Rp 90 juta, jasa liputan Fajar Tv Rp 60 juta, serta jasa
publikasi dan dokumentasi dalam rangka 17 Agustus yang mencapai Rp 45 juta
untuk tiga stasiun lokal.
"Anggaran ini patut dipertanyakan sebab tidak
ada dasarnya. Saya kira bukan zamannya lagi wartawan diberi upah saat meliput
suatu peristiwa. Saya yakin wartawan tidak akan menerima yang seperti
itu," kata anggota Komisi A, Andi Mariattang. Melihat perkembangan
media saat ini, tambah Mariattang yang juga mantan wartawan, tidak ada lagi
wartawan digaji oleh pemerintah. Mereka meliput berdasarkan penugasan kantor
dari media masing-masing.
Gaji khusus untuk wartawan juga ada pada
nomenklatur lain, yaitu tersosialisasinya rencana kerja Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) lingkup Pemprov Sulawesi Selatan. Total anggarannya mencapai Rp
34,6 juta. Anggaran tersebut ditujukan kepada lima media, yaitu Harian Fajar Rp
7,2 juta, Tribun Timur Rp 7,2 juta, Berita Kota Rp 6,7 juta, Ujungpandang
Ekspres Rp 6,7 juta, dan Seputar Indonesia Rp 6,7 juta.
Kepala Biro Humas dan Protokol Agus Sumantri yang
dikonfirmasi soal ini mengatakan, alokasi anggaran tersebut, bukan untuk
mengupah atau menggaji wartawan peliput kegiatan pemerintah provinsi atau dinas
terkait. Tetapi, dipakai apabila ada agenda acara pemerintah provinsi untuk
keluar daerah. "Tentu ada makan minumnya serta biaya penginapan (hotel) dalam
perjalanan peliputan. Tapi kalau semisal dibayar oleh kabupaten yang melakukan
acara, maka dana tersebut tidak digunakan," jelas Agus kepada Tempo Sabtu
kemarin. Untuk anggaran sebesar Rp 240 juta, itu katanya untuk biaya jasa
kemitraan dengan beberapa media.
Sumber
http://dhanialeksono.blogspot.com/2013/11/tiga-contoh-kasus-mnengenai-pelanggaran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar