Jumat, 22 Oktober 2010

Homo Homini Lupus dan Homo Homini Socius



Homo Homini Lupus 
          “Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” atau juga disebut “Homo homini Lupus ” istilah ini pertama kali di kemukakan oleh plautus pada tahun 945,yang artinya sudah lebih dari 1500 tahun dan kita masih belum tersadar juga. di jaman sekarang ini sangat sulit Menjadikan Manusia seperti seorang manusia pada umumnya,sepertinya istilah ini masih tetap berlaku sampai sekarang. Dalam arti luas bahwa orang lain yang sering ditemui bukan lagi sebagai sahabat atau sesama (homo socius). Orang yang tidak sealiran dengannya dianggap sebagai lupus (serigala). Atau sebagai contoh dari dulu sejak zaman Adam dan Hawa hal ini telah terjadi dari pembunuhan anak Adam dan Hawa, doktrin gereja, perang dunia sampai terorisme. Kekerasan bahkan sampai penghilangan nyawa yang tidak manusiawi kini adalah fakta yang tidak bisa dibantah.

          Banyak sikap manusia yang semakin dilarang semakin melakukanya, contohnya semakin tinggi pagar rumah makin menantang untuk dimalingi oleh pencuri. Kerap kali kita bertanya “apa sih sebenarnya manusia itu ?”. Perang dunia, tindakan kekerasan, bunuh, potong, iris, cincang, mutilasi, bom, bakar, penggal Apakah itu disebut manusia? Tidak. Kenapa tidak? Karena itu semua manusia yang melakukanya dan dilakukan terhadap manusia juga (dari manusia untuk manusia) itu baru namanya “Manusia itu adalah serigala bagi manusia”, itulah sebanya manusia lain disebut lupus (serigala) yang berani membunuh dan memakan sesamanya.

          Pengakuan sebagai umat beragama yang telah patuh terhadap ajaranya kerap kali sebagai alasan tindakan kekerasan bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang. Banyak pelaku kekerasan seperti tersebut menyatakan ini masalah iman, masalah Tuhan atau masalah kebenaran (kebenaran yang ditafsirkan manusia itu sendiri). Kalau boleh meminjam kata yang sangat didengungkan orang Kristen adalah “kasih”. Kasih berarti pengorbanan, Kasih berarti tidak munafik, Kasih berarti menerima apa adanya. Kalau boleh meninggi, sudahkan bangsa atau dunia ini tidak ada kasih lagi, walau selalu berstempel orang beragama. Seorang agamawan yang baik tentu menghargai kebheinekaan (pluralis), menerima orang lain apa adanya, tidak munafik, tapi secara jujur dan tulus menghargai segala perbedaan. Pemahaman agama yang separuh-separuh hanya akan menimbulkan kemunafikan, karena esensinya hilang.
         
          Tidak bisa dipungkiri Hidup di dalam suatu negara sangat di butuhkan sosialisasi karena kita tidak dapat Hidup dengan sendirinya tanpa ada manusia lain.Apalagi seperti keadaan sekarang ini kita Hidup di jaman yang serba susah .Demi mempertahankan hidup itu sendiri kita rela melakukan apa saja Mulai dari yang halal sampai yang Haram, tentunya semua itu kita lakukan  untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.Untuk mewujudkan itu semua memang tidak mudah dimana kita harus menghadapi berbagai konflik yang akan memicu lahirnya sikap saling mangsa Dan disinilah Peran Hati nurani & ego sangat dibutuhkan.

          gambaran manusia di jaman sekarang ini sangatlah mengerikan dari segi sikap dan perbuatan terkadang lebih keji dari pada hewan yang paling buas sekalipun,saling sikut,saling berebut saling tikam bahkan saling memangsa layaknya serigala yang buas siap menerkam mangsanya demi sebuah kepuasan (ambisi).

          sebagai contoh yang terjadi di dalam kehidupan kita seperti tindakan kekerasan,mulai dari perkelahian ,pembunuhan,pemerkosaan,serta aksi teror pemboman yang sedang trend di negara kita dan perang dunia yang memungkinkan akan terjadi lagi. Apakah itu disebut manusia ? Tidak. Kenapa tidak? Karena itu semua manusia yang melakukanya dan dilakukan terhadap manusia juga ? entahlah..’ untuk menghadapi ini semua haruskah kita pun menjadi serigala ? atau hanya diam dan menjadi domba yang berada di tengah-tengah gerombolan para serigala lapar ?

          Negara menurut teori Thomas Hobbes dibutuhkan untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan terhadap rakyat yang lemah. Hobbes menilai bahwa negara dibutuhkan perannya yang besar agar mampu mencegah adanya “homo homini lupus” atau manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Hobbes memunculkan teori ini karena di masanya ia melihat adanya kesewenang-wenangan terhadap golongan yang lemah, sehingga perlu adanya peran negara untuk mencegah ini.

          Apa yang telah dikemukakan oleh Thomas Hobbes masih sangat relevan dengan kondisi Aceh saat ini. Masa konflik atau saat diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, merupakan masa yang paling suram terhadap supremasi hukum di Indonesia. Masa ini merupakan masa terjadinya pelanggaran HAM baik itu pelanggaran Hak-hak sipil dan Politik (Sipol) maupun pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). Penghilangan nyawa secara paksa, pembunuhan diluar prosedur hukum, dan penyiksaan adalah telah dilanggarnya Hak-hak Sipil dan Politik.
 
          Namun di balik itu, ternyata situasi konflik telah dimanfaatkan oleh golongan yang berwatak kapitalis untuk melangsungkan kepentingan ekonominya. berbagai macam dalih dan alasan yang digunakan untuk meloloskan kepentingannya. Dengan dalih Developmentalisme, situasi konflik makin memuluskan kepentingan mereka untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan memanfaatkan birokrasi dan kekuatan bekingan, golongan kapitalis yang berwujud dalam simbol perusahaan, telah menjadikan Aceh sebagai lahan eksploitasi yang sangat strategis. Tidak peduli prosedur hukum dan kemanusiaan, yang terpenting hasrat untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya harus bisa diwujudkan. Itulah kekejaman, keburukan dan kejelekan dari kapitalisme yang saat ini bermetamorfosis dengan berbagai bentuk yang lainnya.

          Penyerobotan tanah dan upaya pengambilan tanah secara paksa dari masyarakat ternyata persoalan yang sudah lumrah terjadi di masa konflik. Masyarakat yang sadar untuk membela hak-haknya, namun apa daya, masyarakat terpaksa harus diam dan pasrah menerima realitas yang terjadi. Lantas di manakah para pejuang demokrasi dan pegiat HAM saat itu? Jawabannya kembali dengan sebuah pertanyaan, siapa yang sanggup menghadapi kekuatan bedil dan kekuatan birokrasi yang terstruktur? jawabannya adalah ajal akan menjemput bagi siapa saja yang berani untuk menghadang. Wal hasil, kapitalis semakin tidak ada hambatan lagi untuk untuk melakukan eksploitasi ekonominya di Aceh. Kekuatan-kekuatan pemrotes, kekuatan-kekuatan penghambat lainnya mampu dibungkam dengan aliran dana untuk membela dan melanggengkan kepentingan mereka.

          Adanya Akademisi, adanya aktivis HAM dan tokoh-tokoh yang memiliki idealisme juga tidak bisa berbuat banyak terhadap realitas yang terjadi. Ibarat tikus dalam mulut ular, meronta-ronta namun tetap jua tidak berhasil melepaskan diri. Pelanggaran HAM terus berlangsung selama 10 tahun di Aceh. Tatkala rezim yang paling ditakuti hancur, sesaat itulah riak-riak perlawanan dikumandangkan. Saat itulah mulai muncul keberanian rakyat untuk menyuarakan berbagai kebobrokan, kebohongan dan kekejaman rezim yang berkuasa. Rakyat kemudian menghendaki adanya perubahan yang signifikan.

          Rezim otoritarian telah berganti, namun kita tidaklah harus hidup dalam euforia yang berkepanjangan. Masih banyak pekerjaan, masih banyak hal yang harus dirubah. Perubahan tidak akan datang dengan hanya berharap turun dari langit, perubahan perlu kita lakukan. Teringat dalam sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi “tidaklah Kami ubah nasib sesuatu kaum, sebelum mereka sendiri yang mengubahnya.” Saat ini Aceh telah damai, tentunya banyak yang selalu mengatakan Aceh telah damai, jadi lupakan semua kejadian di masa konflik karena bila diingat akan berpotensi kembali terjadinya konflik. Rasa-rasanya ada benar juga apa yang dikatakan oleh mereka itu. Namun, perlu kita kritisi kembali sebenarnya bagaimana konsep melanggengkan perdamaian itu?

          Teringat pada sebuah buku yang pernah saya baca dengan Judul “Pantat Bangsaku”, dalam buku itu tersirat bahwa bangsa Indonesia dengan mudahnya melupakan sejarah kekejaman masa lalu dan sejarah bobroknya pemerintahan. Semenjak membaca buku itu saya kembali teringat haruskah saya melupakan kekejaman yang terjadi di masa lalu?. Aceh yang masyarakatnya sangat kental dengan Syariat Islam. Masyarakat Aceh sangat akrab dengan kitab-kitab kuning. Dalam masa duduk di pesantren tradisional, selalu terngiang-ngiang akan hukum Islam terkait dengan pembunuhan. Dijelaskan oleh Teungku (guru ngaji) bahwa hukum membunuh dalam Islam adalah nyawa dibayar dengan nyawa kecuali bagi pihak korban/ahli waris mau menerima damai dengan syarat dibayarnya diyat (ganti kerugian).
          Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) yang bertugas untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi serta Pengadilan HAM yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM di Aceh, akan dibentuk secara khusus sesuai dengan amanah UU No.11 Tahun 2006. Namun bagaimana nasib UU KKR setelah dijudicial review oleh Mahkamah Konstitusi? semuanya belum ada kepastian hukum terhadap dua lembaga tersebut yang akan dibentuk di Aceh. Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan persoalan integrasi, dalam prakteknya juga menuai berbagai masalah.

          Pekerjaan-pekerjaan di atas merupakan tanggung jawab negara untuk menyelesaikan melalui aparaturnya. Baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah Aceh sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap penyelesai persoalan hukum dan HAM di Aceh. Damai itu indah bila penjahat HAM diadili, damai itu indah bila persoalan-persoalan pelanggaran hukum dan pemenuhan HAM terhadap rakyat sebagai warisan dari zaman konflik bisa diselesaikan. Jika tidak, kembali kita mengacu pada pendapatnya Thomas Hobbes Homo homini lupus artinya manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Homo homini socius
          Homo homini socius (Manusia adalah rekan atau teman bagi sesamanya di dunia sosialitas ini ) (http://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara), merupakan sebuah istilah yang di utarakan pada awalnya oleh seorang filsuf berlatar belakang ekonomi, Adam Smith. Inti dari pikiran ini adalah bahwa manusia akan butuh orang lain dalam hidupnya untuk berinteraksi. Dalam sebuah teori yang sangat sederhana, teori ini dapat dengan sederhana dibuktikan dengan kebutuhan manusia akan akurasi dan dipandang baik oleh orang lain (aronson, 2004). Dalam konteks ingin dipandang baik oleh orang lain, akan menjadi sorotan dalam homo homini socius dan kemudian, kebutuhan ini akan dijelaskan lebih lanjut dengan konsep self esteem atau yang diterjemahkan menjadi harga diri.

          Kebutuhan akan harga diri pertama kali dijelaskan dalam hierarchy of needs, oleh Abraham Maslow (Schultz, D. 1976). Maslow membagi atas 2 bagian untuk kebutuhan akan harga diri ini, yaitu kebutuhan yang tergolong rendah dan tergolong tinggi. Yang tergolong rendah mencakup kebutuhan dihormati oleh orang lain, kebutuhan akan status, popularitas, kemenangan, dikenal, diperhatikan, reputasi, apresiasi, martabat, dan bahkan dominansi. sementara yang tergolong tinggi mencakup kebutuhan akan penghormatan terhadap diri sendiri oleh diri sendiri (self respect) seperti perasaan yakin, kepemilikan akan kompetensi, perolehan hasil, penguasaan akan suatu hal, kemandirian, dan kebebasan. Bentuk-bentuk ke dua disebut sebagai kebutuhan yang dikategorikan tinggi oleh Maslow karena ketika sudah memiliki self respect tersebut, maka seorang individu akan sulit terlepaskan itu semua.

          Semua penjelasan-penjelasan tersebutlah, yang kemudian akan membuat seseorang membutuhkan orang lain, sebab untuk memperoleh harga diri tadi, maka manusia butuh orang lain untuk memberikannya. Hal ini bahkan dijelaskan oleh Erik Erikson, seorang psikolog psikodinamika, dalam teori fase-fase perkembangan manusia, psikososial, bahwa kebutuhan akan harga diri sudah dimunculkan sejak manusia masih bayi (santrock, J.W, 2006).

Kebebasan Individual
          Namun terdapat suatu paradoks tersendiri dalam kebutuhan akan harga diri tersebut, yaitu ketika seorang membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya ini, terdapat juga issue yang dikemukakan oleh Maslow bahwa manusia butuh mandiri dan bebas. Jika kita masih membutuhkan orang lain dalam membentuk harga diri kita, maka dimana letak kebebasan individual dalam bertingkah laku ?(Luijpen, W.A, 1969).
Seorang Psikolog Psikodinamika, Erich Fromm, dalam teorinya yang berjudul “Escape from freedom“, mencoba menjelaskan paradoks ini. Fromm menggunakan pendekatan dari dua sisi, yaitu bahwa manusia terbatas dalam hal biologis (menurut pandangan Freud) dan dalam hal aspek sosial (menurut pandangan Marx). Kedua pendekatan ini yang kemudian menjadi dasar, mengapa manusia bagaimanapun mencoba untuk lepas dari keterikatannya, tidak akan pernah bisa lepas secara mutlak, atau menurut Jean Paul sartre (filsuf dari Eropa) bahwa manusia itu ada sebagai faktisitas (terbatas dalam memilih) juga, selain sebagai eksistensialis (bebas dalam memilih).

          Oleh karenanya kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus menuju kesempurnaan (menuju kemutlakan Tuhan). Suatu perjuangan mengatasi paradoks dalam dirinya. Dikatakan perjuangan terus menerus karena pada kodratnya manusia adalah dinamika, bergerak aktif dengan dan dalam dirinya.
Manusia sebagai dinamika adalah manusia sebagai rohani-jasmani. Berdasarkan kerohaniannya terjadilah pelaksanaan, tapi pelaksanaan juga terjadi dalam kejasmanian. Ini adalah perintang. Oleh karena itu dinamikanya berupa pelaksanaan yang sekaligus berupa kegagalan, jadi selesai sebelum selesai, menjadi dan membelum.

          Dinamika manusia memiliki tiga unsur: 
          pertama, Pengertian. Pengertian manusia adalah pengertian rohani-jasmani juga jasmani-rohani, yang memuat beberapa segi yakni, pengertian indera adalah momen dari dan dalam keseluruhan pengertian kita; pengertian rasional merupakan pengertian konseptual membuat ide; pengertian metafisik disebut meta-konseptual, misalnya pengertian baik dan buruk. Ketiga segi ini saling memuat. Pengertian sensitif adalah satu momen dari seluruh pengertian insani. Tak ada pengertian sensitif tanpa pengertian rohani (intelek) juga sebaliknya.
Pengertian tersebut memuat fungsi, yakni menjiwai kehidupan manusia, memberi semacam pola dalam perbuatan; mempesatukan manusia dengan dunianya, kemampuan melakukan obyektivikasi; mensatukan manusia dengan sesamanya, kemampuan keluar dari batas ruang dan waktu sehingga mampu melihat manusia dengan dirinya, mampu menangkap interioritasnya; menangkap tansendensinya, berarti menyeberang, menyerahkan diri ke lain subyek. Penyerahan ini akhrnya bermuara kepada Tuhan.
Kedua, Rasa. Dibedkan antara rasa jasmani yang berlokalisasi dan rsa rohani yang tak berlokalisasi. Rasa merupakan penyatu dari aspek kognitif dan aspek pengambil di dalam menikmati (terpenuhinya suatu dorongan). Bentuk konkrit dari dinamika dalam unsur ini berupa dorongan-dorongan ke barang; dorongan seksual; dorongan ke arah keindahan; dorongan sensitif untuk cinta, disebut dorongan positif. Juga dorongan negatif yang menyebabkan manusia menolak sesuatu, yakni: takut, marah, segan.
Ketiga, Karsa. Adalah dinamika insani yangbentuknya menentukan. Karsa berkembang dari aspek jamani-rohani (biologis) ke aspek rohani-jasmani (logis). Pada taraf logis itulah karsa menjadi dinamika yang berdaulat, dalam arti mandiri, menguasai dan menentukan diri sendiri.
Dengan demikian pada kodratnya dinamika manusia menuju kesempurnaan. Namun, dalam perjalanannya ke arah itu mendapat hambatandari kejasmanian (nafsu-nafsu, keinginan), tapi manusia tidak diperbudak olehnya karena manusia memiliki karsa yang merupakan bentuk yang menentukan dalam perbuatannya.
Dalam pelaksanaan dinamikanya ke kesempurnaan, manusia memperstukan dirinya dengan sesama dan alam. Mensatukan dirinya dengan sesama adalah sisi sosialitas manusia, karenanya secara kodrati manusia adalah sahabat bagi manusia yang lain (homo homini socius). Dan, mensatukan dirinya dengan alam adalah sebagai proses dinamika aktif manusia mengatasi kodrat alam dan determinasi dunia material (sisi kebudayaan).
Tapi dalam pelaksanaan dinamikanya tersebut manusia tidak sepenuhnya tunduk pad akodratnya karena manusia memilik karsa. Sehingga, dalam pelaksanaan dinamikanya sering terjadi pembelokan-pembelokan dari nilai-nilai kodratinya. Demikianlah kenapa dalam kehidupan sosial terjadi kekerasan, penindasan terhadap sesama manusia. Yang demikian sebenarnya bukanlah kodrat manusia, tapi terjadi karena pembelokan karsa manusia.
Dari pokok-pokok gagasan tentang manusia dari Drijarkara tersebut terasa aroma filsafat eksisitensialisme, yang berkembang di Eropa sesudah Perang Dunia II. Pemikirannya menampakkan pengaruh dari aliran eksistensialisme. Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme merupakan reaksi terhadap pandangan materialisme yang meletakkan manusia pada tingkat impersonal dan idealisme yang meletakkan manusia pada tingkat yang abstrak.
Eksistensialisme memandang manusia secara terbuka. Artinya manusia adalah realitas yang belum selesai masih harus membenuk dan dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, pada sesama manusia. Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang eksisitensial.
Eksisitensi pada manusia adalah cara manusia berada di dunia, menyangkut pengalaman langsung yang bersifat pribadi. Bereksistensi berarti berdinamika, menciptakan dirinya secara aktif. Bereksisitensi berarti berbuat, menjadi,merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaan sebelumnya. Dalam istilah Drijarkara manusia selalau menjadi dan membelum.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar