Homo Homini Lupus
“Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya”
atau juga disebut “Homo homini Lupus ” istilah ini pertama kali di kemukakan
oleh plautus pada tahun 945,yang artinya sudah lebih dari 1500 tahun dan kita
masih belum tersadar juga. di jaman sekarang ini sangat sulit Menjadikan
Manusia seperti seorang manusia pada umumnya,sepertinya istilah ini masih tetap
berlaku sampai sekarang. Dalam arti luas bahwa orang lain yang sering
ditemui bukan lagi sebagai sahabat atau sesama (homo socius). Orang yang tidak
sealiran dengannya dianggap sebagai lupus (serigala). Atau sebagai contoh dari
dulu sejak zaman Adam dan Hawa hal ini telah terjadi dari pembunuhan anak Adam
dan Hawa, doktrin gereja, perang dunia sampai terorisme. Kekerasan bahkan
sampai penghilangan nyawa yang tidak manusiawi kini adalah fakta yang tidak
bisa dibantah.
Banyak sikap manusia yang semakin dilarang semakin melakukanya, contohnya semakin tinggi pagar rumah makin menantang untuk dimalingi oleh pencuri. Kerap kali kita bertanya “apa sih sebenarnya manusia itu ?”. Perang dunia, tindakan kekerasan, bunuh, potong, iris, cincang, mutilasi, bom, bakar, penggal Apakah itu disebut manusia? Tidak. Kenapa tidak? Karena itu semua manusia yang melakukanya dan dilakukan terhadap manusia juga (dari manusia untuk manusia) itu baru namanya “Manusia itu adalah serigala bagi manusia”, itulah sebanya manusia lain disebut lupus (serigala) yang berani membunuh dan memakan sesamanya.
Pengakuan sebagai umat beragama yang telah patuh terhadap ajaranya kerap kali sebagai alasan tindakan kekerasan bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang. Banyak pelaku kekerasan seperti tersebut menyatakan ini masalah iman, masalah Tuhan atau masalah kebenaran (kebenaran yang ditafsirkan manusia itu sendiri). Kalau boleh meminjam kata yang sangat didengungkan orang Kristen adalah “kasih”. Kasih berarti pengorbanan, Kasih berarti tidak munafik, Kasih berarti menerima apa adanya. Kalau boleh meninggi, sudahkan bangsa atau dunia ini tidak ada kasih lagi, walau selalu berstempel orang beragama. Seorang agamawan yang baik tentu menghargai kebheinekaan (pluralis), menerima orang lain apa adanya, tidak munafik, tapi secara jujur dan tulus menghargai segala perbedaan. Pemahaman agama yang separuh-separuh hanya akan menimbulkan kemunafikan, karena esensinya hilang.
Tidak bisa dipungkiri Hidup di dalam suatu
negara sangat di butuhkan sosialisasi karena kita tidak dapat Hidup dengan
sendirinya tanpa ada manusia lain.Apalagi seperti keadaan sekarang ini kita
Hidup di jaman yang serba susah .Demi mempertahankan hidup itu sendiri kita
rela melakukan apa saja Mulai dari yang halal sampai yang Haram, tentunya semua
itu kita lakukan untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.Untuk
mewujudkan itu semua memang tidak mudah dimana kita harus menghadapi berbagai
konflik yang akan memicu lahirnya sikap saling mangsa Dan disinilah Peran Hati
nurani & ego sangat dibutuhkan.
gambaran manusia di jaman sekarang ini
sangatlah mengerikan dari segi sikap dan perbuatan terkadang lebih keji dari
pada hewan yang paling buas sekalipun,saling sikut,saling berebut saling tikam
bahkan saling memangsa layaknya serigala yang buas siap menerkam mangsanya demi
sebuah kepuasan (ambisi).
sebagai contoh yang terjadi di dalam kehidupan
kita seperti tindakan kekerasan,mulai dari perkelahian
,pembunuhan,pemerkosaan,serta aksi teror pemboman yang sedang trend di negara
kita dan perang dunia yang memungkinkan akan terjadi lagi. Apakah itu disebut
manusia ? Tidak. Kenapa tidak? Karena itu semua manusia yang melakukanya dan
dilakukan terhadap manusia juga ? entahlah..’ untuk menghadapi ini semua
haruskah kita pun menjadi serigala ? atau hanya diam dan menjadi domba yang
berada di tengah-tengah gerombolan para serigala lapar ?
Negara menurut teori Thomas Hobbes dibutuhkan
untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan
terhadap rakyat yang lemah. Hobbes menilai bahwa negara dibutuhkan perannya
yang besar agar mampu mencegah adanya “homo homini lupus” atau manusia menjadi
serigala bagi manusia lainnya. Hobbes memunculkan teori ini karena di masanya
ia melihat adanya kesewenang-wenangan terhadap golongan yang lemah, sehingga
perlu adanya peran negara untuk mencegah ini.
Apa yang telah dikemukakan oleh Thomas Hobbes masih sangat relevan dengan kondisi Aceh saat ini. Masa konflik atau saat diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, merupakan masa yang paling suram terhadap supremasi hukum di Indonesia. Masa ini merupakan masa terjadinya pelanggaran HAM baik itu pelanggaran Hak-hak sipil dan Politik (Sipol) maupun pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). Penghilangan nyawa secara paksa, pembunuhan diluar prosedur hukum, dan penyiksaan adalah telah dilanggarnya Hak-hak Sipil dan Politik.
Namun di balik itu, ternyata situasi konflik
telah dimanfaatkan oleh golongan yang berwatak kapitalis untuk melangsungkan
kepentingan ekonominya. berbagai macam dalih dan alasan yang digunakan untuk
meloloskan kepentingannya. Dengan dalih Developmentalisme, situasi konflik
makin memuluskan kepentingan mereka untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya. Dengan memanfaatkan
birokrasi dan kekuatan bekingan, golongan kapitalis yang berwujud dalam simbol
perusahaan, telah menjadikan Aceh sebagai lahan eksploitasi yang sangat
strategis. Tidak peduli prosedur hukum dan kemanusiaan, yang terpenting hasrat
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya harus bisa diwujudkan.
Itulah kekejaman, keburukan dan kejelekan dari kapitalisme yang saat ini
bermetamorfosis dengan berbagai bentuk yang lainnya.
Penyerobotan tanah dan upaya pengambilan tanah secara paksa dari masyarakat ternyata persoalan yang sudah lumrah terjadi di masa konflik. Masyarakat yang sadar untuk membela hak-haknya, namun apa daya, masyarakat terpaksa harus diam dan pasrah menerima realitas yang terjadi. Lantas di manakah para pejuang demokrasi dan pegiat HAM saat itu? Jawabannya kembali dengan sebuah pertanyaan, siapa yang sanggup menghadapi kekuatan bedil dan kekuatan birokrasi yang terstruktur? jawabannya adalah ajal akan menjemput bagi siapa saja yang berani untuk menghadang. Wal hasil, kapitalis semakin tidak ada hambatan lagi untuk untuk melakukan eksploitasi ekonominya di Aceh. Kekuatan-kekuatan pemrotes, kekuatan-kekuatan penghambat lainnya mampu dibungkam dengan aliran dana untuk membela dan melanggengkan kepentingan mereka.
Adanya Akademisi, adanya aktivis HAM dan tokoh-tokoh yang memiliki idealisme juga tidak bisa berbuat banyak terhadap realitas yang terjadi. Ibarat tikus dalam mulut ular, meronta-ronta namun tetap jua tidak berhasil melepaskan diri. Pelanggaran HAM terus berlangsung selama 10 tahun di Aceh. Tatkala rezim yang paling ditakuti hancur, sesaat itulah riak-riak perlawanan dikumandangkan. Saat itulah mulai muncul keberanian rakyat untuk menyuarakan berbagai kebobrokan, kebohongan dan kekejaman rezim yang berkuasa. Rakyat kemudian menghendaki adanya perubahan yang signifikan.
Rezim otoritarian telah berganti, namun kita tidaklah harus hidup dalam euforia yang berkepanjangan. Masih banyak pekerjaan, masih banyak hal yang harus dirubah. Perubahan tidak akan datang dengan hanya berharap turun dari langit, perubahan perlu kita lakukan. Teringat dalam sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi “tidaklah Kami ubah nasib sesuatu kaum, sebelum mereka sendiri yang mengubahnya.” Saat ini Aceh telah damai, tentunya banyak yang selalu mengatakan Aceh telah damai, jadi lupakan semua kejadian di masa konflik karena bila diingat akan berpotensi kembali terjadinya konflik. Rasa-rasanya ada benar juga apa yang dikatakan oleh mereka itu. Namun, perlu kita kritisi kembali sebenarnya bagaimana konsep melanggengkan perdamaian itu?
Teringat pada sebuah buku yang pernah saya baca dengan Judul “Pantat Bangsaku”, dalam buku itu tersirat bahwa bangsa Indonesia dengan mudahnya melupakan sejarah kekejaman masa lalu dan sejarah bobroknya pemerintahan. Semenjak membaca buku itu saya kembali teringat haruskah saya melupakan kekejaman yang terjadi di masa lalu?. Aceh yang masyarakatnya sangat kental dengan Syariat Islam. Masyarakat Aceh sangat akrab dengan kitab-kitab kuning. Dalam masa duduk di pesantren tradisional, selalu terngiang-ngiang akan hukum Islam terkait dengan pembunuhan. Dijelaskan oleh Teungku (guru ngaji) bahwa hukum membunuh dalam Islam adalah nyawa dibayar dengan nyawa kecuali bagi pihak korban/ahli waris mau menerima damai dengan syarat dibayarnya diyat (ganti kerugian).
Penyerobotan tanah dan upaya pengambilan tanah secara paksa dari masyarakat ternyata persoalan yang sudah lumrah terjadi di masa konflik. Masyarakat yang sadar untuk membela hak-haknya, namun apa daya, masyarakat terpaksa harus diam dan pasrah menerima realitas yang terjadi. Lantas di manakah para pejuang demokrasi dan pegiat HAM saat itu? Jawabannya kembali dengan sebuah pertanyaan, siapa yang sanggup menghadapi kekuatan bedil dan kekuatan birokrasi yang terstruktur? jawabannya adalah ajal akan menjemput bagi siapa saja yang berani untuk menghadang. Wal hasil, kapitalis semakin tidak ada hambatan lagi untuk untuk melakukan eksploitasi ekonominya di Aceh. Kekuatan-kekuatan pemrotes, kekuatan-kekuatan penghambat lainnya mampu dibungkam dengan aliran dana untuk membela dan melanggengkan kepentingan mereka.
Adanya Akademisi, adanya aktivis HAM dan tokoh-tokoh yang memiliki idealisme juga tidak bisa berbuat banyak terhadap realitas yang terjadi. Ibarat tikus dalam mulut ular, meronta-ronta namun tetap jua tidak berhasil melepaskan diri. Pelanggaran HAM terus berlangsung selama 10 tahun di Aceh. Tatkala rezim yang paling ditakuti hancur, sesaat itulah riak-riak perlawanan dikumandangkan. Saat itulah mulai muncul keberanian rakyat untuk menyuarakan berbagai kebobrokan, kebohongan dan kekejaman rezim yang berkuasa. Rakyat kemudian menghendaki adanya perubahan yang signifikan.
Rezim otoritarian telah berganti, namun kita tidaklah harus hidup dalam euforia yang berkepanjangan. Masih banyak pekerjaan, masih banyak hal yang harus dirubah. Perubahan tidak akan datang dengan hanya berharap turun dari langit, perubahan perlu kita lakukan. Teringat dalam sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi “tidaklah Kami ubah nasib sesuatu kaum, sebelum mereka sendiri yang mengubahnya.” Saat ini Aceh telah damai, tentunya banyak yang selalu mengatakan Aceh telah damai, jadi lupakan semua kejadian di masa konflik karena bila diingat akan berpotensi kembali terjadinya konflik. Rasa-rasanya ada benar juga apa yang dikatakan oleh mereka itu. Namun, perlu kita kritisi kembali sebenarnya bagaimana konsep melanggengkan perdamaian itu?
Teringat pada sebuah buku yang pernah saya baca dengan Judul “Pantat Bangsaku”, dalam buku itu tersirat bahwa bangsa Indonesia dengan mudahnya melupakan sejarah kekejaman masa lalu dan sejarah bobroknya pemerintahan. Semenjak membaca buku itu saya kembali teringat haruskah saya melupakan kekejaman yang terjadi di masa lalu?. Aceh yang masyarakatnya sangat kental dengan Syariat Islam. Masyarakat Aceh sangat akrab dengan kitab-kitab kuning. Dalam masa duduk di pesantren tradisional, selalu terngiang-ngiang akan hukum Islam terkait dengan pembunuhan. Dijelaskan oleh Teungku (guru ngaji) bahwa hukum membunuh dalam Islam adalah nyawa dibayar dengan nyawa kecuali bagi pihak korban/ahli waris mau menerima damai dengan syarat dibayarnya diyat (ganti kerugian).
Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) yang
bertugas untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi serta Pengadilan HAM yang
bertugas untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM di Aceh, akan dibentuk
secara khusus sesuai dengan amanah UU No.11 Tahun 2006. Namun bagaimana nasib
UU KKR setelah dijudicial review oleh Mahkamah Konstitusi? semuanya belum ada
kepastian hukum terhadap dua lembaga tersebut yang akan dibentuk di Aceh. Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang mempunyai
kewajiban untuk menyelesaikan persoalan integrasi, dalam prakteknya juga menuai
berbagai masalah.
Pekerjaan-pekerjaan di atas merupakan tanggung jawab negara untuk menyelesaikan melalui aparaturnya. Baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah Aceh sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap penyelesai persoalan hukum dan HAM di Aceh. Damai itu indah bila penjahat HAM diadili, damai itu indah bila persoalan-persoalan pelanggaran hukum dan pemenuhan HAM terhadap rakyat sebagai warisan dari zaman konflik bisa diselesaikan. Jika tidak, kembali kita mengacu pada pendapatnya Thomas Hobbes Homo homini lupus artinya manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Pekerjaan-pekerjaan di atas merupakan tanggung jawab negara untuk menyelesaikan melalui aparaturnya. Baik Pemerintah Pusat maupun pemerintah Aceh sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap penyelesai persoalan hukum dan HAM di Aceh. Damai itu indah bila penjahat HAM diadili, damai itu indah bila persoalan-persoalan pelanggaran hukum dan pemenuhan HAM terhadap rakyat sebagai warisan dari zaman konflik bisa diselesaikan. Jika tidak, kembali kita mengacu pada pendapatnya Thomas Hobbes Homo homini lupus artinya manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Homo homini socius
Homo homini socius (Manusia adalah rekan atau teman bagi
sesamanya di dunia sosialitas ini )
(http://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara), merupakan sebuah istilah
yang di utarakan pada awalnya oleh seorang filsuf berlatar belakang ekonomi,
Adam Smith. Inti dari pikiran ini adalah bahwa manusia akan butuh orang lain
dalam hidupnya untuk berinteraksi. Dalam sebuah teori yang sangat sederhana,
teori ini dapat dengan sederhana dibuktikan dengan kebutuhan manusia akan
akurasi dan dipandang baik oleh orang lain (aronson, 2004). Dalam konteks ingin
dipandang baik oleh orang lain, akan menjadi sorotan dalam homo homini
socius dan kemudian, kebutuhan ini akan dijelaskan lebih lanjut dengan
konsep self esteem atau yang diterjemahkan menjadi harga diri.
Kebutuhan akan harga diri pertama kali
dijelaskan dalam hierarchy of needs, oleh Abraham Maslow
(Schultz, D. 1976). Maslow membagi atas 2 bagian untuk kebutuhan akan harga
diri ini, yaitu kebutuhan yang tergolong rendah dan tergolong tinggi. Yang
tergolong rendah mencakup kebutuhan dihormati oleh orang lain, kebutuhan akan
status, popularitas, kemenangan, dikenal, diperhatikan, reputasi, apresiasi,
martabat, dan bahkan dominansi. sementara yang tergolong tinggi mencakup
kebutuhan akan penghormatan terhadap diri sendiri oleh diri sendiri (self
respect) seperti perasaan yakin, kepemilikan akan kompetensi,
perolehan hasil, penguasaan akan suatu hal, kemandirian, dan kebebasan.
Bentuk-bentuk ke dua disebut sebagai kebutuhan yang dikategorikan tinggi oleh
Maslow karena ketika sudah memiliki self respect tersebut,
maka seorang individu akan sulit terlepaskan itu semua.
Semua penjelasan-penjelasan tersebutlah, yang
kemudian akan membuat seseorang membutuhkan orang lain, sebab untuk memperoleh
harga diri tadi, maka manusia butuh orang lain untuk memberikannya. Hal ini
bahkan dijelaskan oleh Erik Erikson, seorang psikolog psikodinamika, dalam
teori fase-fase perkembangan manusia, psikososial, bahwa kebutuhan akan harga
diri sudah dimunculkan sejak manusia masih bayi (santrock, J.W, 2006).
Kebebasan Individual
Namun terdapat suatu paradoks tersendiri dalam
kebutuhan akan harga diri tersebut, yaitu ketika seorang membutuhkan orang lain
untuk memenuhi kebutuhannya ini, terdapat juga issue yang dikemukakan oleh
Maslow bahwa manusia butuh mandiri dan bebas. Jika kita masih membutuhkan orang
lain dalam membentuk harga diri kita, maka dimana letak kebebasan individual
dalam bertingkah laku ?(Luijpen, W.A, 1969).
Seorang Psikolog
Psikodinamika, Erich Fromm, dalam teorinya yang berjudul “Escape from
freedom“, mencoba menjelaskan paradoks ini. Fromm menggunakan pendekatan
dari dua sisi, yaitu bahwa manusia terbatas dalam hal biologis (menurut
pandangan Freud) dan dalam hal aspek sosial (menurut pandangan Marx). Kedua
pendekatan ini yang kemudian menjadi dasar, mengapa manusia bagaimanapun
mencoba untuk lepas dari keterikatannya, tidak akan pernah bisa lepas secara
mutlak, atau menurut Jean Paul sartre (filsuf dari Eropa) bahwa manusia itu ada
sebagai faktisitas (terbatas dalam memilih) juga, selain sebagai eksistensialis
(bebas dalam memilih).
Oleh karenanya kehidupan manusia adalah
perjuangan terus menerus menuju kesempurnaan (menuju kemutlakan Tuhan). Suatu
perjuangan mengatasi paradoks dalam dirinya. Dikatakan perjuangan terus menerus
karena pada kodratnya manusia adalah dinamika, bergerak aktif dengan dan dalam
dirinya.
Manusia sebagai
dinamika adalah manusia sebagai rohani-jasmani. Berdasarkan kerohaniannya
terjadilah pelaksanaan, tapi pelaksanaan juga terjadi dalam kejasmanian. Ini
adalah perintang. Oleh karena itu dinamikanya berupa pelaksanaan yang sekaligus
berupa kegagalan, jadi selesai sebelum selesai, menjadi dan membelum.
Dinamika manusia memiliki tiga unsur:
pertama, Pengertian. Pengertian manusia adalah pengertian
rohani-jasmani juga jasmani-rohani, yang memuat beberapa segi yakni, pengertian
indera adalah momen dari dan dalam keseluruhan pengertian kita; pengertian
rasional merupakan pengertian konseptual membuat ide; pengertian metafisik
disebut meta-konseptual, misalnya pengertian baik dan buruk. Ketiga segi ini
saling memuat. Pengertian sensitif adalah satu momen dari seluruh pengertian
insani. Tak ada pengertian sensitif tanpa pengertian rohani (intelek) juga sebaliknya.
Pengertian tersebut
memuat fungsi, yakni menjiwai kehidupan manusia, memberi semacam pola dalam
perbuatan; mempesatukan manusia dengan dunianya, kemampuan melakukan
obyektivikasi; mensatukan manusia dengan sesamanya, kemampuan keluar dari batas
ruang dan waktu sehingga mampu melihat manusia dengan dirinya, mampu menangkap
interioritasnya; menangkap tansendensinya, berarti menyeberang, menyerahkan
diri ke lain subyek. Penyerahan ini akhrnya bermuara kepada Tuhan.
Kedua, Rasa. Dibedkan antara rasa jasmani yang
berlokalisasi dan rsa rohani yang tak berlokalisasi. Rasa merupakan penyatu
dari aspek kognitif dan aspek pengambil di dalam menikmati (terpenuhinya suatu
dorongan). Bentuk konkrit dari dinamika dalam unsur ini berupa
dorongan-dorongan ke barang; dorongan seksual; dorongan ke arah keindahan;
dorongan sensitif untuk cinta, disebut dorongan positif. Juga dorongan negatif
yang menyebabkan manusia menolak sesuatu, yakni: takut, marah, segan.
Ketiga, Karsa. Adalah dinamika insani yangbentuknya
menentukan. Karsa berkembang dari aspek jamani-rohani (biologis) ke aspek
rohani-jasmani (logis). Pada taraf logis itulah karsa menjadi dinamika yang
berdaulat, dalam arti mandiri, menguasai dan menentukan diri sendiri.
Dengan demikian pada
kodratnya dinamika manusia menuju kesempurnaan. Namun, dalam perjalanannya ke
arah itu mendapat hambatandari kejasmanian (nafsu-nafsu, keinginan), tapi
manusia tidak diperbudak olehnya karena manusia memiliki karsa yang merupakan
bentuk yang menentukan dalam perbuatannya.
Dalam pelaksanaan
dinamikanya ke kesempurnaan, manusia memperstukan dirinya dengan sesama dan
alam. Mensatukan dirinya dengan sesama adalah sisi sosialitas manusia,
karenanya secara kodrati manusia adalah sahabat bagi manusia yang lain (homo
homini socius). Dan, mensatukan dirinya dengan alam adalah sebagai proses
dinamika aktif manusia mengatasi kodrat alam dan determinasi dunia material
(sisi kebudayaan).
Tapi dalam
pelaksanaan dinamikanya tersebut manusia tidak sepenuhnya tunduk pad akodratnya
karena manusia memilik karsa. Sehingga, dalam pelaksanaan dinamikanya sering
terjadi pembelokan-pembelokan dari nilai-nilai kodratinya. Demikianlah kenapa
dalam kehidupan sosial terjadi kekerasan, penindasan terhadap sesama manusia.
Yang demikian sebenarnya bukanlah kodrat manusia, tapi terjadi karena
pembelokan karsa manusia.
Dari pokok-pokok
gagasan tentang manusia dari Drijarkara tersebut terasa aroma filsafat
eksisitensialisme, yang berkembang di Eropa sesudah Perang Dunia II.
Pemikirannya menampakkan pengaruh dari aliran eksistensialisme. Sebagai aliran
filsafat, eksistensialisme merupakan reaksi terhadap pandangan materialisme
yang meletakkan manusia pada tingkat impersonal dan idealisme yang meletakkan
manusia pada tingkat yang abstrak.
Eksistensialisme
memandang manusia secara terbuka. Artinya manusia adalah realitas yang belum
selesai masih harus membenuk dan dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada
dunia sekitarnya, pada sesama manusia. Eksistensialisme memberi tekanan pada
pengalaman konkrit, pengalaman yang eksisitensial.
Eksisitensi pada
manusia adalah cara manusia berada di dunia, menyangkut pengalaman langsung
yang bersifat pribadi. Bereksistensi berarti berdinamika, menciptakan dirinya
secara aktif. Bereksisitensi berarti berbuat, menjadi,merencanakan. Setiap saat
manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaan sebelumnya. Dalam istilah
Drijarkara manusia selalau menjadi dan membelum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar